Beritatoba.com – Toba – Sejumlah desa di Kabupaten Toba dan Kabupaten Tapanuli Utara menyatakan menolak Tim Terpadu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) RI soal verifikasi dan identifikasi Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Adat.
Surat Desa Aek Raja (hal 1)
Masyarakat Desa Aek Raja, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), Sumut, dalam surat pernyataannya yang ditujukan kepada Ketua Tim Terpadu Kemen LHK RI Soeryo Adiwibowo menyatakan bahwa tanah yang diusulkan merupakan tanah yang dikelola oleh masyarakat Aek Raja secara pribadi-pribadi. Kemudian dalam surat pernyataan itu menyebutkan tidak ada tanah adat sepanjang sepengetahuan mereka.
Surat Desa Aek Raja (Hal 2)
Untuk itu masyarakat Desa Aek Raja menyatakan menolak dengan tegas segala upaya usulan wilayah adat di areal atau tanah yang mereka usahai. Dalam surat pernyataan tertanggal 12 Oktober 2021 yang ditandatangani oleh masyarakat Desa Aek Raja itu juga ditandatangani oleh Kepala Desa Aek Raja Jammes Manalu, Camat Parmonangan Lammiduk Sinaga dan Ketua Tim Terpadu Soeryo Adiwibowo.
Demikian pula surat pernyataan keberatan atau sanggahan masyarakat Dusun Tungkonisolu, Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Sumut, yang ditujukan kepada Menteri LHK dan lembaga lainnya. Dalam surat pernyataan itu secara tegas masyarakat menolak atas usulan wilayah adat di dusun mereka. Kemudian ditegaskan pula bahwa tidak ada tanah adat sepanjang sepengetahuan mereka dan tidak pernah mengajukan tanah adat.
Surat Desa Parsoburan Barat
Masyarakat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, dalam suratnya yang ditujukan kepada Bupati Toba menyampaikan bahwa sehubungan dengan adanya permohonan masyarakat adat Desa Natumingka yang mengatasnamakan sebagian Gomparan Oppu Punduraham Simanjuntak terkait dengan pelepasan tanah wilayah Desa Natumingka yang selama ini dikuasai oleh PT TPL seluas 2.409,7 Ha, maka sebagain lagi Gomparan Oppu Punduraham Simanjuntak tidak setuju dengan usulan luasan tersebut.
Surat Desa Natumingka
Sesuai dengan hasil koordinasi pemerintah Desa Natumingka bahwa luas yang diusulkan tersebut adalah luas wilayah Desa Natumingka. Sementara luas wilayah yang dikuasai oleh pihak PT TPL hanya berkisar 643 Ha. Untuk itu masyarakat Desa Natumingka bermohon kepada Bupati Toba agar mengkaji ulang luas usulan tersebut sesuai fakta-fakta di lapangan.
Penolakan usulan hutan adat yang terletak di Aek Napa dan Sitorang juga disampaikan oleh masyarakat Desa Sabungan Nihuta IV, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Taput. Penolakan itu ditandatangani masyarakat dan Kepala Desa Sabungan Nihuta IV, Partomuan Simanjuntak.
Surat Desa Sabungan Nihuta IV
Masyarakat Desa Pohan Jae, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Taput, dalam surat keberatannya tertanggal 15 Oktober 2021 juga menyatakan menolak dan keberatan atas usulan tanah adat guna menghindari konflik horizontal. Jimmi Simanjuntak kepada beritatoba.com saat dikonfirmasi membenarkan atas surat keberatan ini. “Kita sudah sampaikan surat keberatan menolak usulan tanah adat atas kesepakatan kami bersama”, tegasnya.
Surat Desa Pohan Jae
Masyarakat Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, juga secara tegas menyampaikan surat pernyataan penolakan tanah adat dan masyarakat hukum adat guna mengindari konflik horizontal karena kepemilikan tanah sudah dikelola secara pribadi-pribadi. Ranto Hutapea kepada beritatoba.com juga membenarkan soal surat penolakan itu.
Masyarakat Desa Simare diwakili Ranto Hutapea dan rekan menyampaikan surat keberatan kepada Tim Terpadu Kemen LHK RI
Konflik horizontal sangat rentan terjadi jika memang Kemen LHK tidak secara cermat melihat perkembangan masyarakat Batak di Kabupaten Toba dan Taput. Sekarang ini bisa dikatakan hampir disemua desa-desa, masyarakatnya sudah memiliki tanahnya masing-masing atau sudah terbagi-bagi dan bahkan sudah bersertifikat.
Ketika Tim Terpadu Kemen LHK menyatakan di sebuah desa ditetapkan ada tanah adatnya, sementara di atas tanah yang ditetapkan menjadi tanah adat tersebut sudak dimiliki dan dikelola secara pribadi-pribadi maka akan menimbulkan konflik ditengah masyarakat. Karena tanah adat adalah tanah milik bersama, sementara masing-masing masyarakat sudah memiliki tanah pribadi-pribadi yang berbeda-beda luasannya.
Salah satu contoh ada seorang warga Desa Natumingka yang salah satu keluarganya saat ini berdomisili di Jakarta. Keluarga besar mereka memiliki tanah yang cukup luas di desa itu, namun bakal dibuat menjadi tanah adat atau tanah milik bersama. Akibatnya warga perantauan itu menghubungi keluarganya di desa dan menyatakan, “Jangan pandai-pandaian kalian disitu mau bikin tanahku menjadi tanah adat. Bilang sama mereka jangan bikin kacau di desa kita”.