Beritatoba.com – Mungkin tiada dinyana kalau Indonesia telah masuk dalam jajaran 10 besar negara yang memiliki utang terbesar yang mencapai USD 402,08 miliar atau setara dengan Rp 5.589 Triliun.
Data Statistik Utang Internasional yang dipublikasikan Bank Dunia, Senin (12/10/2020) lalu, menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi ketujuh dengan utang luar negeri terbesar.
Dapat dikatakan bahwa utang pemerintah terus bertambah dari masa ke masa. Mulai dari era orde lama, orde baru, hingga era reformasi. Berdasarkan catatan Bank Dunia, utang luar negeri Indonesia naik lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Sudah sekitar tujuh kali pergantian presiden, nampaknya belum mampu mengantarkan Indonesia untuk keluar dari lilitan utang luar negeri. Masing-Masing presiden justru dinilai melanjutkan tongkat estafet warisan utang untuk presiden selanjutnya.
Lantas, berapakah jumlah utang Indonesia dari masa ke masa…? Berikut informasi selengkapnya melansir dari berbagai sumber.
Era Presiden Soekarno
Rupanya, Indonesia mulai terjerat utang luar negeri sejak negara ini baru berusia seumur jagung setelah merdeka. Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan menuturkan, Indonesia sudah diwarisi utang oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1949.
Warisan utang dari pemerintah Hindia Belanda itu adalah salah satu kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, sebagai syarat kemerdekaan. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno juga pernah berutang ke negara lain. Di bawah kepemimpinan Bung Karno, ia mewarisi utang sebesar USD 2,3 miliar atau sekitar Rp 32 Triliun. Angka tersebut di luar dari utang Hindia Belanda yang sebesar USD 4 miliar atau sekitar Rp 56 Triliun.
“Utamanya ke negara-negara blok timur, Uni Soviet dan sekutunya. Ada bantuan (utang) dari AS, tapi jumlahnya tidak lebih besar dari utang yang diperoleh dari Uni Soviet dan sekutunya,” tutur Dani.
Era Soeharto
Setelah pergantian presiden, Soekarno pun mewarisi utang pemerintah ke tangan Soeharto. Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun itu justru semakin rajin melakukan pinjaman baru.
Bedanya, Soeharto tidak memilih utang dari negara blok timur, tapi cenderung ke blok barat dan lembaga asing semisal Bank Dunia dan IMF. Warisan utang dari Hindia Belanda yang sempat dibatalkan oleh Soekarno, justru di re-schedule ulang oleh Soeharto pada 1964.
Selain mereschedule ulang, Soeharto juga mendapat komitmen pinjaman baru. Utang di era Soeharto, disebutkan diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi. Mulai dari pembangunan infrastruktur, pabrik, industri, dan lain-lain.
“Tapi yang tidak dilupakan adalah utang di era Soeharto banyak disebut utang haram karena tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena dikorupsi”, kata Dani.
Menurut data, rezim orde baru berutang sebesar Rp 1.500 Triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, utang negara bertambah sekitar Rp 46,88 Triliun tiap tahun.
Era BJ Habibie
Setelah Soeharto dilengserkan pada tahun 1998, warisan utang negara itupun diberikan kepada Presiden BJ Habibie. Proses akumulasi utang pun terus berlanjut di era Presiden Habibie. Bahkan, Habibie tercatat sebagai presiden yang membuat utang Indonesia makin besar hanya dalam waktu singkat.
Saat itu, rasio utang terhadap PDB berada di level 85,4 persen. Sehingga utang di era Habibie sekitar Rp 938,8 Triliun, sementara PDB Rp 1.099 Triliun.
Era Gus Dur
Di era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Indonesia sempat menurunkan utang menjadi 77,2 persen. Saat itu utang pemerintah sebesar Rp 1.271 triliun dan PDB Rp 1.491 Triliun.
Era Megawati
Di bawah kepemimpinan presiden Megawati, rasio utang Indonesia kembali mengalami penurunan. Penurunan utang terjadi lewat penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp 1.273,18 Triliun turun menjadi Rp 1.225,15 Triliun pada 2002.
Sayangnya, di tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat. Pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp 1.299 Triliun. Namun, jika dibandingkan dengan sebelumnya, utang Indonesia di bawah kepemimpinan Gus Dur dan Megawati bisa dibilang tidak terlalu besar.
Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Setelah mendapat warisan utang sebesar RP 1.299 Triliun, utang Indonesia justru semakin membengkak menjadi Rp 1.700 Triliun di 2009 atau lima tahun pertama masa kepemimpinan SBY.
Namun, SBY sempat melunasi utang-utangnya pada dana moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang telah menjerat sejak tahun 1997. Pada Oktober 2006, sisa utang pada IMF sebesar USD 3,7 miliar yang harusnya jatuh tempo pada 2010 telah diselesaikan oleh BI.
Sebelumnya, pada Juni 2006, BI juga membayar utang ke IMF sebesar Rp 3,7 Miliar. Jadi, dalam waktu satu tahun anggaran, sisa utang ke IMF sebesar Rp 7,4 Miliar telah dilunasi.
Namun, menjelang masa akhir kepemimpinannya pada 2014, utang Indonesia justru semakin menggunung. Per April 2013, utang pemerintah menembus angka Rp 2.023 Triliun.
Kementerian Keuangan RI mencatat, sampai akhir Desember 2020 total utang pemerintah mencapai angka Rp 6.074,56 Triliun sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,68 persen.
Secara nominal, utang pemerintah ini mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Hal ini disebabkan, pelemahan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Berdasarkan catatan Bank Dunia, utang luar negeri Indonesia naik lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Posisi utang Indonesia kemudian menanjak menjadi USD 307,75 Miliar pada 2015, USD 318,94 Miliar pada 2016, USD 353,56 Miliar pada 2017, USD 379,59 Miliar pada 2018, dan USD 402,08 Miliar atau sekitar Rp 5.634 Triliun.
Utang luar negeri Indonesia paling banyak berasal dari Singapura yang mencapai USD 67,93 Miliar, disusul oleh Jepang sebesar USD 29,03 Miliar dan Tiongkok USD 20,03 Miliar. Selain ketiga negara itu, Indonesia juga memiliki pinjaman dari Amerika, Australia, Austria, Hongkong, Korea Selatan, Inggris, Swiss, dan berbagai negara lainnya.