Beritatoba.com – Toba – Pemerintah Kabupaten Toba bersama Kepala KPH IV Balige dan masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) menggelar diskusi soal kemitraan dalam pengelolaan perhutanan sosial, Kamis (3/11/2022).
Pemkab Toba, Kepala KPH IV Balige, Youtuber Thomson Cyrus diskusi bareng masyarakat soal upaya tingkatkan perekonomian rakyat.(Ft btc)
Diskusi yang bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat desa ini juga diliput secara langsung oleh youtuber Thomson Cyrus bertempat di Wita Cafe, Desa Lumban Silintong, Kecamatan Balige.
Hadir sebagai pembicara antara lain staf ahli atau mantan Sekdakab Toba Audy Murphy Sitorus, Asisten II Jonni Lubis, Kepala KPH IV Balige Leo Sitorus, Kabag Hukum Lukman Siagian, Camat Borbor James Pasaribu, Kepala Desa Parsoburan Barat Demson Simangunsong, KTH Lamiduk, KTH Tungkotnisolu dan beberapa KTH lainnya.
Leo Sitorus dalam diskusi itu mengutarakan perhutanan sosial bisa dikelola oleh masyarakat desa yang berada disekitar kawasan hutan negara melalui pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH). Namun pembentukan KTH tidak dibenarkan bagi masyarakat pendatang yang berada di satu desa tersebut.
Dikatakannya khusus di Kabupaten Toba telah ada beberapa KTH yang telah terbentuk dan ada pula yang menjalin kemitraan dengan pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) dilahan konsesinya. Untuk kemitraan mengelola kawasan hutan diharapkannya agar TPL mampu berkreasi bersama dengan KTH. Demikian pula dengan masyarakat harus menjadi mitra Polhut dalam menjaga hutan dari penebangan pohon dan Karhutlah.
Dalam diskusi itu Kades Parsoburan Barat menyampaikan hingga saat ini masyarakatnya yang tergabung dalam KTH telah menjalin kemitraan dengan TPL dengan melakukan penanaman jagung dan jahe di lahan konsesi TPL. Demson mengaku kemitraan dengan TPL membuahkan hasil yang memuaskan walau terkendala dengan harga pasar yang fluktuatif.
Para pengurus KTH yang juga hadir galam diskusi itu mengakui bahwa TPL tidak hanya membantu menyediakan lahan tetapi juga memberi bantuan bibit dan pupuk. “Kita dibiayai semua oleh TPL, juga ada pembinaaan untuk pembuatan pupuk kompos dan pembibitan” kata Ibu Pardede salah seorang anggota KTH.
Saat ini masyarakat yang tergabung dalam KTH sudah hampir dua tahun ini menjalin kemitraan dengan TPL dan sedang fokus menanam cabai merah, cabai rawit dan jahe. Waldemar Rajagukguk mengaku bahwa kelompoknya telah dibantu oleh TPL untuk 800 bibit alpukat dan ratusan bibit lainnya, termasuk bibit cabai. Diharapkan pula agar pemerintah dapat memberikan dukungan terkait soal harga supaya stabil, apalagi kalau bisa harganya tinggi yang menguntungkan masyarakat desa.
Waldemar juga mengutarakan adanya kecemburuan masyarakat, yang tidak mau bergabung dengan KTH, ketika melihat kesuksesan KTH dalam menjalin kemitraan dengan TPL. “Kalau kita bekerjasama dengan TPL ada saja yang cemburu. Kita bentuk KTH untuk peningkatan perekonomian dan supaya makin maju. Kalau ada isu miring, kita hiraukan saja dan kita fokus bekerja. Sekali kami sampaikan pak bahwa kendala kami hanya soal harga saja yang kurang bagus”, katanya.
Terkait masalah harga ini, Asisten 2 Perekonomian Jonni Lubis mengatakan bahwa saat ini ada juga pengaruh perang Rusia Ukraina terhadap perekonomian dunia. Namun demikian diharapkan kedepan Pemkab Toba akan berusaha mencari solusi terbaik guna mengatasi fluktuasi harga tersebut.
Sementara itu Camat Borbor menyampaikan tentang kondisi masyarakat sekarang yang sudah semakin terbuka pikirannya. Namun demikian masih banyak juga konflik soal tanah dengan mengatasnamakan bahwa tanah konflik itu adalah tanah nenek moyangnya.
Untuk itu diharapkannya kepada Pemkab Toba, gereja-gereja dan para tokoh masyarakat mengedukasi bagamana supaya masyarakat bisa beripikir jernih, tidak seperti sekarang ini masyarakat Desa Natumingka yang sudah terpecah belah.
Staf Ahli Bupati Toba, Audy Murphy Sitorus, menjelaskan bahwa sejak awal Pemkab Toba selalu berupaya bagaimana supaya terjalin kerjasama antara TPL dengan masyarakat setempat. Hal ini juga sudah menjadi tugas dan tanggungjawab Pemkab Toba agar kehidupan masyarakat sejahtera. Karena masyarakat itupun menuntut bagaimana supaya sejahtera.
Dsinggung soal tanah adat, Murphy menegaskan bahwa selama ini telah terjadi perbedaan persepsi antara masyarakat dengan negara. Satu sisi tanah yang diklaim masyarakat sebagai tanah adatnya adalah milik negara sesuai UU, sementara masyarakat mengatakan bahwa sejak dulu mereka sudah ada ditanah yang diklaimnya tersebut.
Disisi lainhya, masih menurut Murphy, masyarakat ada juga ingin menjalin kerjasama dengan TPL, tapi ada juga yang memilih ingin memiliki tanah. “Untuk apa kita memiliki tanah kalau tidak ada manfaatnya. Memilki tapi tidak dikelola. Lebih baik kerjasama dengan TPL. Kurang apa lagi kalau TPL sudah bantu bibit dan pupuk”, katanya.
Lebih jauh Murphy Sitorus mengutarakan bahwa pihak Pemkab Toba tidak jemu-jemu memberi penjelasan masalah tanah adat, hutan adat dan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat harus mengacu kepada peraturan yang ada, karena pemerintah juga senang kalau masyarakatnya sejahtera. Dari ketujuh permohonan yang diajukan masyarakat hukum adat, tidak satupun yang memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam peraturan. “Soal konsesi, TPL itu ibarat pengontrak. Jika tidak dijaga maka TPL yang dipidana. Jadi masyarakat yang mengklaim itu lahan konsesi adalah tanah adat mereka, ya nuntutnya ke Kementerian LHK, bukan ke TPL”, tegasnya.
Kabag Hukum Pemkab Toba, Lukman Siagian, menambahkan bahwa soal masyarakat hukum adat ketika itu sudah dibentuk tim untuk melakukan verifikasi dan identifikasi sesuai peraturan perundang-undangan. “Tidak ada yang memenuhi syarat untuk menjadi masyarakat hukum adat di Kahbupate Toba ini”, imbuhnya.
Jonni Lubis juga menambahkan agar masyarakat bisa bekerjasama dengan TPL. Diharapkannya pula agar masyarakat tidak menjadikan TPL sebagai musuh namun dimanfaatkan untuk nilai-nilai positifnya. “Yang kurang bagus bisa kita perbaiki. Manfaatkan kehadiran TPL untuk kesejahteraan. Lihatlah, yang memusuhi TPL sampai sekarang gak ada manfaatnya. Kita harapkan pula agar CSR sebagian besar digunakan untuk pemberdayaan masyarakat”, ujar Jonni seraya menambahkan agar masyarakat lebih berpikir manfaatnya daripada memilki tanah tapi tidak bermanfaat.
Leo Sitorus turut juga menambahkan bahwa hutan adat adalah milik komunal bukan untuk milik pribadi atau perusahaan dan tidak bisa disertfikatkan. Berbeda dengan dengan Tora yang tanahnya bisa disertifikatkan. “Kalau milik Ompungku (kakekku, red) bisa jadi milik pribadi melalui Tora, untuk apa memilih menjadi hutan adat yang jadi milik bersama”, tegasnya.
Dihimbaunya pula agar para KTH yang menjalin kemitraan dengan TPL supaya membuat RKUPS agar bisa dapat bantuan dari pemerintah.(R1)