Beritatoba.com – Taput – Kehadiran Rainforest Action Network (RAN) asal Amerika ke Desa Janji Maria, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara, pada Maret 2023 lalu tampaknya berkaitan dengan penerimaan penghargaan Goldman Environmental Prize.(GEP) yang diterima Direktur Eksekutif Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, di San Fransisco, Amerika, (25-26/4/2023) lalu.
Saat itu tidak diketahui secara jelas ada kepentingan dan tujuan apa RAN hadir di Kabupaten Toba hingga sampai menuai kecaman dan protes dari tokoh adat dan LSM se kawasan Danau Toba. Apakah RAN hadir di Kabupaten Toba menggunakan visa pekerjaan, bisnis, pariwisita, pendidikan atau visa apa…?
Namun salah satu yang terkuak dalam kunjungan RAN di Desa Janji Maria saat itu adalah meninjaui, memfoto dan melihat secara langsung kondisi pohon kemenyan (benzoin) dan berbagai jenis tanaman lainnya di hutan Janji Maria. Hingga saat ini Inteldakim kantor Imigrasi Pematangsiantar masih melakukan penyelidikan atas kehadiran RAN di desa tersebut.
Anggota RAN saat meninjau hutan Desa Janji Maria, Kabupaten Toba.
“Pohon benzoin hanya tumbuh di area ini. Itulah mengapa saya merasa bertanggung jawab untuk ambil bagian dari perjuangan itu. Karena itu bagian dari saya,” ujar Delima dalam sebuah video yang diunggah di laman Goldman Environmental Prize oleh CNN Indonesia dan dikutip beritatoba.com.
Wakil Ketua Lembaga Adat Dalihan Natolu Kabupaten Tapanuli Utara, Darus Manalu, mengutarakan sebenarnya Delima Silalahi itu seorang pekerja di KSPPM, layaknya seperti anggota atau pengurus KSPPM lainnya. Demikian pula ditegaskan Indera Nababan, salah satu pendiri KSPPM, semasa hidupnya mengatakan kepada beritatoba.com bahwa Delima Silalahi itu hanya pekerja di KSPPM. “Saya melihat bahwa Delima Silalahi itu layaknya seperti pion. Mungkin dia tidak tau seperti apa persaingan bisnis global saat ini, khususnya bisnis pulp dunia. Jangan bangga dulu si Delima saat terima pengharagaan GEP dari Amerika”, katanya.
Seperti dibacanya di media CNN Indonesia dan Antara Indonesia serta media lainnya tentang Delima terima penghargaan GEP, Darus Manalu menyampaikan bahwa tidak seharusnya Delima mengaitkan soal penghargaan yang diterimanya dari Amerika dengan kehadiran PT TPL di bumi Tapanuli. “TPL hanya penerima ijin lahan konsesi dari pemerintah Indonesia. Soal kemenyan dan lainnya itu urusan pemerintah”, ujar Manalu.
Persaingan bisnis global khususnya pulp, masih menurut Darus Manalu, tampaknya sangat kental kaitannya dengan penerimaan penghargaan GEP yang diterima oleh Delima Silalahi. Pulp hasil produksi PT TPL dikenal masyarakat dunia internasional sangat berkwalitas tinggi dan bahkan pulp terbaik sedunia sehingga ada upaya-upaya kelompok atau jaringan tertentu untuk menghancurkan integritas PT TPL melalui isu tanah adat dan lingkungan. “Mungkin Delima tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu soal persaingan pulp ini. Kalau Delima tidak tahu, berarti benarlah dia itu seorang pekerja atau pion. Kalaulah si Delima Silalahi itu tahu soal persaingan bisnis pulp dunia ini, maka kalau boleh saya katakan bahwa dia itu adalah antek asing”, ungkapnya.
Kenapa dikatakan antek asing? Karena dari ribuan pekerja PT TPL, 80 persen adalah pekerja yang berasal dari warga Kabupaten Toba atau warga sekawasan Danau Toba. Jika ada upaya kelompok atau jaringan internasional tertentu untuk menghancurkan atau menutup pabrik PT TPL berarti itu bukan orang Indonesia. “Kalaupun ada orang Indonesia yang bergabung dalam kelompok atau jaringan internasional yang bertujuan untuk menggangu dan berusaha menutup TPL, maka itu adalah antek asing. Kita menolak keras antek asing”, tegas Darus Manalu.(R1)