Mintar Manurung

Beritatoba.com – Toba – Kontroversi soal Masyarakat Hukum Adat (MHA) antara KSPPM dan AMAN versus pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Toba dan Kabupaten Tapanuli Utara serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, tampaknya semakin menjelimat dan harus melibatkan seorang ahli untuk mencari solusi dalam permasalahan ini.

Beberapa waktu lalu ada dua lembaga swadaya masyarakat yakni Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagaimana informasi yang berkembang menyampaikan laporan kepada KLHK RI soal MHA.

Setelah melalui berbagai upaya dan mungkin pressure (tekanan, red) dari segelintir pihak terhadap pemerintah daerah dan bahkan ke pemerintah pusat, akhirnya Pemerintah Daerah Kabupaten Toba menerbitkan Surat Keputusan Bupati Toba Nomor : 96 Tahun 2021 Tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat Di Kabupaten Toba Tahun 2021.

Demikian juga KLHK RI selaku pemerintah pusat menerbitkan SK Menteri LHK Nomor : SK.681/MENLHK/PSKL/PSL.1/9/2021 Tentang Tim Terpadu Dalam Rangka Identifikasi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Serta Verifikasi Wilayah Adat Dan Calon Hutan Adat Di Kabupaten Toba Dan Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya Panitia MHA Kabupaten Toba melakukan identifikasi dan verifikasi ke beberapa desa sesuai surat perintah tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Toba Nomor : 660/391/SPT/DLH/P3K/2021 tertanggal 30 Agustus 2021. Namun hingga saat ini belum membuat kesimpulan, apalagi keputusan dari bupati.

Demikian pula tim terpadu yang dibentuk oleh KLHK RI yang sudah melakukan identifikasi ke Kabupaten Toba dan Kabupaten Tapanuli Utara, Sumut, hingga saat ini belum membuat keputusan atas hasil kunjungan kerjanya ke beberapa desa dan wawancara ke beberapa tokoh adat daerah tersebut. Artinya situasi dan kondisi terkait kontroversi MHA masih mengambang alias belum ada juntrungannya.     

Kemudian berdasarkan rumor yang berkembang, laporan yang disampaikan oleh KSPPM dan AMAN soal MHA ke KLHK RI menyebut bahwa laporan itu terduga kuat ngawur atau tidak akurat, bahkan mengada-ada. Parahnya lagi, disebut—sebut bahwa laporan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan sebagaimana hasil identifikasi dan verifikasi Tim Terpadu KLHK RI kepada masyarakat adat atau tokoh adat yang mengerti sejarah dan tahu adat istiadat Batak Toba.

Sekretaris Panitia MHA Kabupaten Toba, Mintar Manurung, yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Toba, saat dikonfirmasi beritatoba.com  di gedung kantor Bupati Toba soal kontroversi MHA ini, Rabu (3/11/2021), mengutarakan bahwa hingga saat ini, setelah panitia melakukan identifikasi dan verifikasi beberapa waktu lalu, belum membuat rekomendasi kepada bupati soal MHA.

Menurutnya, panitia dalam hal ini sangat berhati-hati sebelum memberikan rekomendasi agar tidak menjadi bumerang bagi bupati. Untuk itu panitia akan memintai pendapat dari seorang ahli dalam persoalan MHA tersebut. “Yang pasti kita akan mintai pendapat ahli melalui zoom pada senin ini (8/11/2021, red) di lantai empat kantor bupati”, katanya.

Lebih jauh Mintar menjelaskan bahwa sesuai Permendagri Nomor : 54 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pasal 5 Ayat 2 menyebutkan bahwa identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati :

a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;

b. wilayah Adat;

c. hukum Adat;

d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.    

Sesua hasil wawancara ke beberapa masyarakat mangatakan tampaknya sulit untuk menetapkan MHA dan Tanah Adat karena jika dilihat dari sejarah masih banyak di daerah Tapanuli, khususnya Kabupaten Toba dan Tapanuli Utara, yang tidak memiliki sejarah MHA. Misalnya sesuai laporan yang disampaikan KSPPM dan AMAN atas beberapa desa yang mereka usulkan ternyata bukan masyarakat atau penduduk asli alias pendatang yang mendiami desa tersebut.

Artinya yang menduduki satu wilayah atau desa adalah masyarakat bermarga dari Kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan yang mungkin datang karena hubungan menantu dengan mertua ke Toba atau Taput. Bahkan ada juga suku Jawa dan Nias yang mungkin tadinya hanya sebagai pekerja di desa tersebut. Kalaupun ada masyarakat bermarga dari Kabupaten Toba kemudian mencari lahan ke kecamatan atau desa lain di kabupaten yang sama, itu menunjukkan bahwa mereka bukan penduduk asli.         

Untuk wilayah adat membuktikan bahwa masyarakat desa saat ini sudah memiliki tanah yang bersertifikat sehingga jika dipaksakan untuk menjadi wilayah atau tanah adat maka akan menciptakan kericuhan. Karena si pemilik tanah pasti sudah tidak mau kalau tanahnya menjadi tanah adat atau tanah milik bersama, karena sudah bersertifikat.

Kemudian terkait hukum adat, bahwa selama ratusan tahun ini masyarakat Toba dan Taput sudah mengenal agama dan hukum negara setelah Indonesia merdeka sehingga secara perlahan hukum adat terkikis dan menghilang bahkan tidak diakui lagi.

Terkait harta kekayaan atau benda-benda adat, sudah barang tentu masyarakat Toba dan Taput banyak yang mengenal tentang Piso Halasan dan tongkat Tunggal Panaluan, namun  kedua benda adat bersejarah dan sakral yang ada sekarang ini keasliannnya sangat diragukan. Karena tiruan kedua benda ini sudah banyak diperjualbelikan di Tuktuk Kabupaten Samosir. Kemudian sudah banyak juga benda adat lainnya yang hilang dan diboyong ke Eropa oleh para turis. Walau saat ini sudah ada beberapa benda bersejarah yang dikembalikan ke Museum Batak  yang dikenal menjadi milik pribadi TB Silalahi.

Terakhir soal kelembagaan/sistem pemerintahan juga sudah tidak ada lagi ditemukan oleh tim verifikasi dan identikasi Kabupaten Toba. Berdasarkan intrik yang diterima beritatoba.com yang menyebutkan bahwa hasil identikasi panitia Toba menyatakan bahwa tidak ada ditemukan kelembagaan secara umum atau paguyuban namun hanya berupa pengakuan yang dituakan atau yang paling tua.

Sesuai keterangan yang diterima oleh beritatoab.com dari pengurus pusat KSPPM di Jakarta yang engan menyebutkan namanya mengatakan bahwa sebagian besar pengurus pusat KSPPM saat ini meragukan kebenaran dari laporan KSPPM ke KLHK RI soal MHA.

Untuk itu kabarnya KSPPM yang dipimpin oleh Delima Silalahi yang berkantor di Girsang Sipangan Bolon, Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumut, bakal dievaluasi oleh pengurus KSPPM pusat. Namun demikian berkembang pula rumor yang menyebutkan bahwa Delima Silalahi dan Rocky Pasaribu melempar ‘bola panas’ kepada para anggota yang membuat laporan terduga ngawur tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *