Oleh : Sanriko Marpaung SH
Sanriko Marpaung
Beritatoba.com – Toba – Ketua DPP Golongan Si Raja Batak Parbaringin Malim Marsada, Sanriko Marpaung SH, dalam press release yang disampaikannya kepada beritatoba.com di Balige, Selasa (9/11/2021), mengulas soal Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang selama beberapa bulan terakhir ini menjadi kontoversi.
Seperti ini ulasannya :
Masyarakat Adat
Menurut adat dan kepercayaan yang diyakini oleh penghayat kepercayaan Golongan Si Raja Batak Parbaringin Malim Marsada yang diwariskan oleh leluhur Si Raja Batak yang sampai saat ini dipertahankan oleh Organisasi Kepercayaan Golongan Si Raja Batak Parbaringin Malim Marsada bersama penganutnya tentang pengertian masyarakat itu adalah kelompok manusia yang menjaga dan mempertahankan kemurnian adat dan kepercayaan yang diwariskan oleh leluhur hingga generasi yang akan datang.
Kemurnian yang dimaksud adalah menjaga agar adat istiadat beserta seluruh komponennya tidak rusak dan tergerus oleh budaya asing. Adat itu adalah keyakinan, bukan sebuah kepentingan semata. Adat itu juga sifatnya kekal dan abadi dan tidak bisa dirubah-rubah atau dipalsukan atau juga ditiru-tiru demi kesenangan semata atau kepentingan sepihak dan kelompok tertentu sesuai dengan tujuannya.
Hal ini bisa diambil dari sumber tersirat dalam falsafah leluhur “Ompu nta Raja ijolo martungkot sialagundi, napinukka ni na parjolo di ihuthon sian pudi” yang maknanya bahwa leluhur kita sejak awal telah menerima berkat Mula Jadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa), yang telah disahkan maupun dibuat oleh leluhur pendahulu diikuti dan diteruskan oleh generasi yang akan datang. Hal ini menjadi pegangan yang sifatnya sangat sakral dan suci, mungkin bagi sebahagian pihak itu hanyalah kata-kata saja, namun bagi kami penganut kepercayaan itu adalah kalimat suci yang harus dipegang teguh dan tidak boleh dilanggar yang akan berakibat buruk bagi diri sendiri maupun berakibat buruk bagi hari esok.
Ini menjadi tantangan berat saat ini, bagaimana masyarakat bisa mempertahankan identitas dan jati dirinya disaat pintu gerbang yang bernama kemajuan sedang pesat dan tak terbendung merasuk penjuru negeri. Mulai dari tradisi kesenian, pakaian, perlengkapan dan peralatan adat dan kepercayaan, bahasa, sarana kesehatan, penghidupan/mata pencaharian, kekerabatan, lingkungan/wilayah adat, hukum adat, perangkat adat dan kepercataan, penanggalan adat dan kepercayaan, rumah adat, gotong royong dan lainnya bisa tetap bertahan dijaga oleh kaum masyarakat adat.
Jelas terlihat saat ini alat musik modern bahkan menjamur merasuk sendi-sendi adat dengan alasan kemajuan dan modernitas. Namun bagi masyarakat adat, keaslian dan tradisional harus dipertahankan dalam setiap perayaan adat dan kepercayaan . Kita tahu saat ini banyak yang mengaku dan menyatakan melaksanakan dan merayakan adat walaupun yang dipakai adalah perangkat adat budaya asing di era saat ini. Hal ini menjadikan dikotomi dan makna ganda tentang apa sebenarnya adat itu? Sementara disatu disi adat itu sifanya kekal dan abadi dan tidak bisa dirubah-rubah dalam pandangan adat dan kepercayaan suku Batak.
Bagi penghayat kepercayaan Golongan Si Raja Batak Parbaringin Malim Marsada sebagai wadah penganut adat dan kepercayaan yang diwariskan oleh Si Raja Batak menegaskan bahwa masyarakat adat itu dalam suku Batak tugasnya sangatlah berat. Masyarakat adat bukan sebatas penyematan atau pengakuan semata, tetapi dibuktikan dengan tingkah laku badan dan rohani sehari-harinya. Beradat Batak, berbahasa Batak, berkekerabatan Dalihan Na Tolu, berhukum adat Batak, berkeyakinan/berkepercayaan/beragama asli suku Batak, hidup dilingkungan/wilayah pekampungan maupun hutan adat dapat dilihat dari sistem mata pencahariannya, tetap menggunakan rumah adat Batak, mempertahankan gondang Batak baik itu gondang bolon maupun gondang hasapi dalam ritual kepercayaan/keagamaannya dan pesta adat Batak (bukan pakai musik buatan luar negeri seperti piano/organ), masih mempertahankan sistem pengobatan tradisional yang bersumber dari alam dan kepercayaan (hal ini bisa terlihat ketika ada yang sakit pergi ke hutan mencari taor dan pulungan serta masih tersedianya tabib atau sibaso atau dukun), menjaga alam dengan baik dan benar sesuai dengan keyakinan dan kedekatan dengan alam (bukan memperbudak alam maupun mengeksploitasi atau merusak alam dengan tujuan tertentu yang sifatnya duniawi), serta pola hidup mulai bangun tidur hingga tidur serta mulai lahir hingga meninggal dunia dapat dilihat adat itu betul-betul merasuki karakter dan kehidupan seseorang.
Kemudian pakaiannyanya itu harus khas adat Batak memakai ulos dan tali-tali bagi pria begitu juga wanita menggunakan ulos setiap harinya (bukan pakaian yang dijahit yang diwariskan oleh kelompok negara asing yang populer), memakai dan menjaga martabat marga sepanjang hayatnya, sistem kekerabatan dan tata kramanya tertata dengan baik dan santun, penanggalan kalender Batak masih terpakai dengan baik dalam kesehariannya tentang hari yang baik dan buruk selama satu tahun, ritual-ritual ucap syukur asli masih terlaksana secara rutin, sistem mata pencaharaiannya tidak terlepas dari agraris pertanian maupun kehutanan, hidup dan tinggal di dalam kawasan pemukiman maupun hutan sebagai landasan dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung sebagai wilayah kawasan adat yang diakui kedaulatannya oleh kelompok disekitarnya secara sah dan resmi secara turun-temurun.
Begitu juga peran perangkat adat masih tertata rapi dan terjaga dengan baik seperti Raja Parbaringin Raja Maropat, Raja Parhualuh, Raja Sampulu Dua, Raja Bondar, Sibaso, Raja Pangihutan, Raja Huta, Ulubalang, dan banyak lainnya. Hal inilah bisa kita lihat betapa beratnya tugas dan tanggungjawab yang diemban oleh masyarakat adat dalam keyakinan suku Batak untuk dilaksanakan oleh generasi penerus para pendahulu. Mungkin kita bisa ambil contoh warna keberagaman lainnya masyarakat adat yang ada di Indonesia seperti saudara kita dari suku Badui Dalam, Orang Rimba, Suku Talang Mamak yang masih mempertahankan adat dan kepercayaan leluhurnya di alam Indonesia.
Wilayah Hukum Adat Dalam Masyarakat Batak
Wilayah hukum adat menurut Golongan Si Raja Batak Parbaringin Malim Marsada adalah sebuah wilayah baik itu pemukiman perkampungan/pemukiman kawasan hutan yang ditinggali oleh kelompok masyarakat adat yang sah dan berkedaulatan dengan hukum adat yang sah dan berkedaulatan, yang artinya hukum yang berlaku di dalam wilayah itu bukan hanya kelompoknya saja mengetahui melainkan kelompok lainnya disekitarnya juga mengetahui.
Hal ini bisa terbukti ketika sebuah wilayah hukum adat melaksanakan sebuah Horja Bius, apakah ada peran bius lainnya atau perangkat adat dari wilayah lainnya dalam prosesi tersebut. Dalam istilah modern sekarang bisa dikatakan sistem demokrasi masyarakat adat Batak yang begitu terbuka dan tidak sembunyi-sembuyi. Hal ini jelas apabila ada seseorang maupun sekelompok orang yang datang dari wilayah lain dan mendapatkan hukuman karena kelalaiannya tidak bisa terhindarkan. Oleh sebab itu harus jeli dan teliti terkait hukum yang berlaku di wilayah lainnya di luar wilayah kita agar tidak sampai terjerat hukuman yang berlaku.
Wilayah Hukum Adat ini dipimpin oleh perangkat yang bertugas dan bertanggungjawab dalam melaksanakan maupun mengawasi hukum yang berlaku di wilayahnya. Perangkat adat seperti Raja-Raja Bius yakni Raja Parbaringin, Raja Patik, Raja Maropat, Raja Parhualuh, Raja Na Sampuluh Dua, Raja Bondar, Ulu Balang, Raja Huta, dan lainnya jelas memiliki kekuasaan secara resmi dan sah dan diketahui/disaksikan pengangkatannya (disaktihon) oleh pemimpin perangkat adat wilayah lainnya. Jadi, perangkat adat ini bukan semata-mata hanya diketahui atau klaim oleh kelompoknya saja atau bahkan kalangan tertentu dibagian kelompok itu sendiri saja atau hanya kalangan elit kelompok itu saja yang mengetahuinya.
Kesimpulannya, wilayah hukum adat itu harus memiliki hukum adat dan perangkat adat dalam menjaga wilayah kesatuan adat yang berdaulat.
Demikian press release yang disampaikan oleh Sanriko Marpaung SH. Dalam keterangan singkatnya kepada beritatoba.com mengutarakan bahwa usulan yang disampaikan beberapa LSM ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dinilai sangat memaksakan kehendak karena sudah tidak mungkin lagi berdasarkan uraian diatas. Terutama tentang keberadaan perangkat adat seperti Raja-Raja Bius yakni Raja Parbaringin, Raja Patik, Raja Maropat, Raja Parhualuh, Raja Na Sampuluh Dua, Raja Bondar, Ulu Balang, Raja Huta dan lainnya yang sudah tidak ada lagi hampir di seluruh pedesaan, khususnya di Kabupaten Toba dan Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. “Bisa saja kita buat masyarakat hukum adat, tapi melihat perkembangan zaman saat ini sangat sulit. Ditambah lagi perangkat adat sudah lama tidak ada”, kata Sanriko.(R1)