Beritatoba.com – Toba – Soal penghargaan Goldman Environmental Prize (GEP) yang diterima Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) di Amerika menuai kritikan ditengah masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara, ditambah lagi ketika dirinya disebut sebagai pejuang lingkungan di beberapa media online.
Sementara disisi lain pendiri yang juga mantan Ketua KSPPM warga Kecamatan Siborongborong, Taput, menyatakan bahwa Delima Silalahi dan pengurus KSPPM lainnya itu hanya pekerja di KSPPM. “Delima Silalahi dan mereka yang di KSPPM berkantor di Parapat itu semuanya hanya pekerja, yang disuruh kesana kemari, buat ini buat itu, demo sana demo sisi, dan kemudian menerima gaji”, kata aktifis senior bergelar si Ompung ini kepada beritatoba.com di kediamannya di Kecamatan Siborongborong, Sabtu (20/5/2023).
Dikatakannya lagi bahwa KSPPM yang didirikannya puluhan tahun silam adalah sebuah organisasi yang benar-benar mengabdikan diri kepada masyarakat umum, dan tidak pernah mengadu domba yang menyebabkan terjadinya perpecahan ditengah masyarakat. Diingatkan terjadinya perpecahan ditengah masyarakat di berbagai desa yang ada di Tapanuli seperti Desa Pohan Jae Tapanauli Utara, Desa Natumingka Toba, Desa Sihaporas Simalungun, Desa Hutaginjang Tapanuli Utara dan Desa Simataniari Humbang Hasundutan itu semua karena kehadiran KSPPM di desa-desa tersebut. Uniknya sekarang malah KSPPM yang terima penghargaan GEP. “Saya tak perduli itu mau penghargaan apa yang diterimanya. Tapi yang pasti, mereka yang mengadu domba, mereka yang dapat hadiah”, tegas Ompung Nababan saat ditemui beritatoba.com pagi itu sedang olah lari kecil menggunakan Kinetic Treadmill.
Ompung Nababan sepakat dengan komentar yang diutarakan Wakil Ketua Aliansi Sipolha Sihaporas, Parsaoran Ambarita, di media ini yang dipublish pada 13 Mei 2023 lalu, soal keberadaan KSPPM ditengah masyarakat penyebab perpecahan di Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun. “Benar itu kesaksian orang Sihaporas si Parsaoran Ambarita itu. KSPPM sekarang ini tidak seperti KSPPM yang dulu”, imbuhnya.
Pekerja Mengaku Pejuang
Menggali komentar Ompung Indera Nababan yang mengatakan Delima Silalahi itu hanya pekerja, sementara dimedia-media online menyebutnya pejuang. Sebenarnya apa perbedaan pejuang dengan pekerja. Pekerja adalah orang yang “hanya” mau melakukan sesuatu karena mengharapkan imbalan dan keuntungan. Ia akan berhenti beraktivitas apabila tidak ada imbalan yang bisa didapat.
Pertanyaannya, ketika Delima Silalahi dan pengurus KSPPM lainnya tidak lagi menerima gaji, apakah mereka tetap mau bekerja untuk KSPPM dalam perjuangan lingkungan dan tanah adat…? “Sepertinya tidak, mereka tidak akan mampu. Karena selama ini mereka itu semua memang bukan pejuang tapi pekerja. Saya yakin mereka tidak tahan lapar”, kata Jimmi Marpaung pengamat pergerakan KSPPM.
Menurut Jimmi, pejuang adalah orang yang mau mengorbankan apa yang dimiliki, baik berupa tenaga, harta, dan bahkan jiwanya sekalipun untuk kepentingan orang lain. Orang seperti itu biasanya tidak peduli, apakah pada akhirnya akan memperoleh sesuatu, atau tidak. Kesenangan dan kebahagiaan yang diperoleh adalah ketika dirinya bisa berjuang untuk kepentingan orang banyak.
Kemudian muncul pertanyaan lain, darimanakah KSPPM mendapatkan dana untuk membiayai operasional kantornya dan gaji para pengurusnya…? Hingga saat ini siapa para donatur KSPPM masih dalam penelusuran. Namun intrik yang berkembang, KSPPM memperoleh dana segar dari masyarakat Eropa dan Amerika, yang mungkin berkelompok untuk melawan pesaing bisnisnya di dunia internasional, khususnya bisnis pulp.
Akibatnya, muncul lagi kemudian penilaian masyarakat kawasan Danau Toba kalau Delima Silalahi itu hanya antek asing, yang diperalat untuk kepentingan bisnis mereka dengan mendiskreditkan PT Toba Pulp Lestari, Tbk membawa isu lingkungan dan tanah adat. Melalui penghargaan GEP, Delima Silalahi yang merasa bangga juga dinilai tidak sadar diri sudah masuk perangkap permainan bisnis tingkat dunia.
Delima itu katanya hanya pion, hanya pekerja dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai antek asing karena selalu saja menyuarakan tutup TPL, bahkan sampai ke Amerika. Sementara 8.000 an masyarakat Batak menumpahkan nasibnya di pabrik PT TPL. “Kok bisanya si Delima Silalahi itu demo ke Amerika dengan teriakan tutup TPL. Sementara ribuan saudaranya suku Batak bisa hidup dan makan serta sekolahkan anaknya karena bekerja di PT TPL. Aneh ini orang”, kata Marolop Tampubolon warga Balige geleng kepala.
Memungkinkan jika sebentar saja dia bisa dicampakkan kaum kapitalis Amerika. Sadar atau tidak sadar, hanya Delima yang tahu isi hatinya. Hanya Delima yang tahu kemana pada akhirnya dia akan beranjak pergi. Yang pasti Delima Silalahi juga punya kepentingan pribadi.
Namun demikian sebagai pekerja jangan terlalu mudah ‘menjual leher rakyat’. Melakukan aksi demo dengan teriakan mengatasnamakan rakyat, hidup rakyat, demi rakyat, namun tidak lain hanya bertujuan untuk kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok semata. Aksi demo dan teriakan atas nama rakyat itu hanya berbuntut agar dapat menerima gaji, sementara rakyat dijadikan alat. Kalau tidak teriak, tidak terima gaji. Inilah yang dinamakan pekerja mengaku sang pejuang.(R1)