Rinaldi Hutajulu
Beritatoba.com – Toba – Soal penghargaan Goldman Environmental Prize (GEP) yang diterima Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, di Amerika menuai kritikan ditengah masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara, ditambah lagi ketika dirinya disebut sebagai pejuang lingkungan di beberapa media online.
Menggali komentar Ompung Indera Nababan terdahulu yang mengatakan Delima Silalahi itu hanya pekerja, sementara dimedia-media online menyebutnya pejuang. Sebenarnya apa perbedaan pejuang dengan pekerja. Pekerja adalah orang yang “hanya” mau melakukan sesuatu karena mengharapkan imbalan dan keuntungan. Ia akan berhenti beraktivitas apabila tidak ada imbalan yang bisa didapat.
Pertanyaannya, ketika Delima Silalahi dan pengurus KSPPM lainnya tidak lagi menerima gaji, apakah mereka tetap mau bekerja untuk KSPPM dalam perjuangan lingkungan dan tanah adat…? “Sepertinya tidak, mereka tidak akan mampu. Karena selama ini mereka itu semua memang bukan pejuang tapi pekerja. Saya yakin mereka tidak tahan lapar”, kata Jimmi Marpaung pengamat pergerakan KSPPM.
Menurut Jimmi, pejuang adalah orang yang mau mengorbankan apa yang dimiliki, baik berupa tenaga, harta, dan bahkan jiwanya sekalipun untuk kepentingan orang lain. Orang seperti itu biasanya tidak peduli, apakah pada akhirnya akan memperoleh sesuatu, atau tidak. Kesenangan dan kebahagiaan yang diperoleh adalah ketika dirinya bisa berjuang untuk kepentingan orang banyak.
Sementara itu Rinaldi Hutajulu menanggapi penghargaan GEP tersebut mengatakan standar seperti apa yang menjadi pedoman yang digunakan pihak pemberi penghargaan GEP kepada Delima Silalahi itu. “Nah apa yg mereka (Delima Silalaji, red) lakukan…? Pengamatan saya adalah bahwa mereka hanya konsentrasi memperjuangkan tanah adat, dan tanah adat yang mereka perjuangkan tersebut dibeberapa tempat belum jelas dasar dan kepemilikannya dan lebih konsentrasi memperjuangkan tanah adat yang cenderung merupakan bagian dari konsesi PT Toba Pulp Lestari yang memiliki ijin atau legalitas dari pemerintah dalam hal ini KLHK”, katanya.
Sementara penguasaan lahan dan alih fungsi kawasan hutan lainnya sangat jarang terdengar, sebagai contoh alih fungsi kawasan hutan disekitar perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Tapanuli Selatan ada beberapa lokasi kawasan hutan lindung yang sudah dibabat dan dialih fungsikan yang luasnya ratusan hektar tidak pernah mereka lakukan perlawanan. Malah baru baru ini di Kecamatan Sipirok kelompok Delima Silalahi ribut masalah penanaman eucalyptus oleh kelompok tani Saroha yang bekerja sama dengan perusahaan PT Toba Pulp Lestari dengan pola Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang jelas jelas bukan kawasan hutan negara melainkan APL. “Apakah karena ada aroma keterlibatan PT Toba Pulp Lestari…? Silahkan simpulkan sendiri. Jadi kalau Delima Silalahi mendapat penghargaan Goldman Environmental Prize (GEP) silahkan saja, tapi tunjukkan kinerja dilapangan tidak pandang buluh atau pihak. Jangan hanya menargetkan kepada salah satu pihak saja, masih banyak diluar sana pihak pihak yang mengalihfungsikan kawasan hutan secara besar-besaran tanpa ada legalitas atau perijinan dari pemerintah. Kalau hanya pihak tertentu yang jadi target mereka saya jadi tanda tanya dan curiga ada apa, apa tujuannya dan siapa dibelakangnya”, ungkap Rinaldi.
Kemudian muncul pertanyaan lain, darimanakah KSPPM yang dipimpin Delima Silalahi mendapatkan dana untuk membiayai operasional kantornya dan gaji para pengurusnya…? Hingga saat ini siapa para donatur KSPPM masih dalam penelusuran. Namun intrik yang berkembang, KSPPM memperoleh dana segar dari masyarakat Eropa dan Amerika, yang mungkin berkelompok untuk melawan pesaing bisnisnya di dunia internasional, khususnya bisnis pulp.
Akibatnya, muncul lagi kemudian penilaian masyarakat kawasan Danau Toba yang menyebut Delima Silalahi itu hanya antek asing, yang diperalat untuk kepentingan bisnis mereka dengan mendiskreditkan PT Toba Pulp Lestari, Tbk dengan membawa isu lingkungan dan tanah adat. Melalui penghargaan GEP, Delima Silalahi yang merasa bangga juga dinilai tidak sadar diri sudah masuk perangkap permainan bisnis tingkat dunia.
Delima itu katanya hanya pion, hanya pekerja dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai antek asing karena selalu saja menyuarakan tutup TPL, bahkan sampai ke Amerika. Sementara 8.000 an masyarakat Batak menumpahkan nasibnya di pabrik PT TPL. “Kok bisanya si Delima Silalahi itu demo ke Amerika dengan teriakan tutup TPL. Sementara ribuan saudaranya suku Batak bisa hidup dan makan serta sekolahkan anaknya karena bekerja di PT TPL. Aneh ini orang”, kata Marolop Tampubolon warga Balige geleng kepala.
Memungkinkan jika sebentar saja dia bisa dicampakkan kaum kapitalis Amerika. Sadar atau tidak sadar, hanya Delima yang tahu isi hatinya. Hanya Delima yang tahu kemana pada akhirnya dia akan beranjak pergi. Yang pasti Delima Silalahi juga punya kepentingan pribadi.
Namun demikian sebagai pekerja jangan terlalu mudah ‘menjual leher rakyat’. Melakukan aksi demo dengan teriakan mengatasnamakan rakyat, hidup rakyat, demi rakyat, namun tidak lain hanya bertujuan untuk kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok semata. Aksi demo dan teriakan atas nama rakyat itu hanya berbuntut agar dapat menerima gaji, sementara rakyat dijadikan alat. Kalau tidak teriak, tidak terima gaji. Inilah yang dinamakan pekerja mengaku sang pejuang.(R1)