Para tokoh adat dialog terbuka soal MHA

Beritatoba.com – Toba – Pemerintah Kabupaten Toba melalui Tim Verifikasi dan Identifikasi Masyarakat Hukum Adat (MHA) menggelar dialog terbuka bersama para tokoh adat, camat dan kepala desa bertempat di ruang rapat mini kantor Bupati Toba, Rabu (24/11/2021).

Dalam dialog terbuka itu Pemkab Toba ingin mendengar secara langsung saran dan pendapat dari para tokoh adat soal usulan MHA di beberapa desa di Kabupaten Toba.

Hadir dalam pertemuan itu para tokoh antara lain Monang Naipospos, St Marihot A Tampubolon, tokoh adat Desa Natumingka Kecamatan Borbor, Desa Parsoburan Barat Kecamatan Habinsaran, Desa Sigapiton Kecamatan Ajibata dan beberapa desa lainnya. Hadir juga Camat Borbor, Kabag Hukum, jajaran Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Toba dan instansi lainnya.

Asisten II Pemkab Toba, Sahat Manullang, selaku pimpinan dalam dialog terbuka itu menegaskan bahwa dialog tersebut hanya sebatas pembahasan soal MHA, bukan soal tanah adat. “Kami tidak berwewenang membahas soal tanah adat, karena itu kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Karena tujuan MHA bukan melegalkan tanah”, katanya.     

Dikatakannya pula bahwa usulan pembentukan MHA supaya jangan ada unsur pemaksaan namun harus sesuai peraturan yang berlaku. “Jika tim nantinya menyatakan tidak layak, maka bupati juga akan menyatakan tidak layak untuk dilanjutkan”, tegas Asisten II.

Senada dengan tokoh adat Monang Naipospos dan Marihot Tampubolon, Asisten II Pemkab Toba ini menegaskan bahwa usulan pembentukan MHA seperti harta karun bagi Pemkab Toba, namun demikian pembentukan MHA harus sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Misalnya masalah benda-benda adat seperti  Ulos, yang sudah sering dipakai dipesta-pesta dan di berbagai daerah sehingga tidak dapat menjadi pendukung keberadaan MHA. Demikian pula dengan Piso Halasan dan Tongkat Tunggal Panaluan yang sudah banyak dipalsukan.

Monang Naipospos mengutarakan selama ia berkeliling ke desa-desa MHA sudah sirna. Pada masa Belanda memang ada Raja Bius berikut batas-batas teritorialnya serta dalam masyarakat adat juga  ada pembagian jambar dan hombar balok. Namun karena begitu kuatnya pengaruh Raja Bius ditengah masyarakat saat itu maka Belanda menganggapnya sebagai ancaman sehingga secara perlahan Belanda menghempang dan mengkerdilkan Raja Bius dengan cara menggantinya menjadi sebutan lain, dan akhirnya terkikis.

Selain itu, kata Monang, keberadaan MHA harus bisa dibuktikan dengan hukum-hukumnya yang masih tersisa atau setidaknya ada yang masih dikenang. “Kita sebenarnya bangga ada MHA. Saya bangga kalau ada MHA di Toba. Kalaupun ada tolong tunjukkan, saya pun ingin bergabung”, katanya.

Tokoh adat St Marihot A Tampubolon senada dengan tokoh adat dari beberapa desa lainnya menyampaikan bahwa saat ini kalaupun masih ada raja bius sudah tidak berdampak kuat lagi bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Banyak permasalahan yang timbul ditengah masyarakat saat ini diselesaikan secara hukum negara, bukan penyelesaian melalui hukum adat. “Saat ini generasi muda sudah tidak lagi menghargai Raja Bius atau Raja Huta. Disinilah tidak ada lagi artinya MHA”, kata Hisar Simanjuntak senada dengan tokoh adat Sigapiton dan Parsoburan Barat. 

“Di Kalimantan kalau mau ada pembangunan harus ada persetujuan dari kepala suku. Dulu di sini pun sepertr itu. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Dulu raja bius itu sangat diakui, sekarang kepala desa pun tak dihargai lagi”, imbuh Marihot Tampubolon.

Pada kesempatan itu Hisar Simanjuntak, tokoh adat Desa Natumingka, berharap kepada Pemkab Toba lebih memperhatikan situasi masyarakat Natumingka yang saat ini sudah terpecah belah akibat munculnya sebuah komunitas di desa itu. Simanjuntak mengatakan saat ini hanya sebagian masyarakat saja beribadah ke  satu-satunya gereja HKI yang ada di desanya, karena sudah terpecah. “Terpecah. Tokoh adat sudah tidak diakui lagi, tidak normal lagi. Ada sebuah komunitas di desa kami yang menyebabkan Natumingka sudah sulit bersatu lagi adatnya. Jadi kami mohon agar pemerintah daerah bisa membantu, memonitor dan memberi saran-saran untuk memulihkan situasi ini”, pinta Hisar seraya menambahkan bahwa saat ini di Natumingka ada yang berani mengaku Raja Adat dan Raja Huta tapi tidak pernah mengikuti acara adat.

Tokoh adat Desa Sigapiton, M Sirait, juga mengakui walau masih ada Raja Bius di desanya namun saat ini sudah tidak ada lagi artinya Raja Bius bagi generasi muda, Saat ini jika ada persoalan hukum sudah langsung dilapor ke polisi dan tidak lagi mengakui keberadaan Raja Bius untuk mendamaikan.

Kepala Desa Natumingka, Kastro Simanjuntak, mengatakan hingga saat ini belum ada kelembagaan adat didesanya. “MHA dulu ada, sekarang tidak ada lagi. Dulu menyelesaikan masalah melalui musyawarah. Kalau dulu orang yang dituakan masih didengar nasehatnya. Sekarang justru yang muda menprovokasi yang tua”, ujarnya.

Kepala Desa Sigapiton menyatakan bahwa seluruh desa-desa se Kabupaten Toba tidak ada yang memenuhi kriteria untuk membentuk MHA sebagaimana tertuang dalam peraturan pemerintah.

Kabag Hukum, Lukman Siagian, menjelaskan pengusulan pembentukan MHA tidak bisa hanya satu desa saja tetapi harus turut serta juga desa –desa tetangganya karena harus ada batas-batas teritorial yang diakui bersama dan saling mengetahui masing-masing desa terkait adanya MHA. Kabag Hukum secara luas juga menjelaskan berbagai persyaratan untuk dapat membentuk MHA.(R1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *