Beritatoba.com – Pandemi Covid-19 telah memperkenalkan istilah baru yang sebelumnya jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari, misal “jarak sosial”, “meratakan kurva”, dan sebagainya. Sekarang ada ungkapan baru yang digunakan diantara para ahli yaitu “nasionalisme vaksin”.

Nasionalisme vaksin terjadi ketika pemerintah menandatangani perjanjian dengan produsen farmasi untuk memasok vaksin untuk populasi mereka sendiri sebelum vaksin tersedia untuk negara lain.

Bahkan sebelum vaksin Covid-19 yang kini disetujui merampungkan uji coba klinis mereka, negara-negara kaya seperti Inggris, AS, Jepang, dan Uni Eropa telah memesan jutaan dosis vaksin yang paling menjanjikan. Seperti yang kita lihat di Inggris, itu sebuah langkah bijaksana.

Setelah angka kematian yang menghancurkan, jutaan orang yang rentan dan pekerja garda depan ditawarkan dosis pertama vaksin baik itu vaksin Pfizer ataupun Oxford-AstraZeneca. Terlepas dari perselisihan politik, Eropa akan segera mengikuti langkah Inggris dan AS memprioritaskan vaksin sendiri.

Menurut sebuah laporan baru, diterbitkan British Medical Journal (BMJ), AS telah mengamankan 800 juta dosis untuk sedikitnya enam vaksin yang sedang dalam pengembangan, dengan opsi membeli sekitar 1 miliar dosis lagi. Inggris telah membeli 340 juta suntikan vaksin; diperkirakan lima dosis untuk setiap warga.

Walaupun di permukaan negara-negara ini tampak telah memesan lebih banyak dosis dari yang dibutuhkan, yang sebernanya adalah banyak dari pesanan ini dilakukan selama fase uji coba vaksin ketika mereka belum yakin vaksin mana yang akan berhasil.

“Pada dasarnya, negara-negara seperti Inggris menaruh telurnya di beberapa keranjang, yang sekarang terbukti merupakan ide yang bagus,” tulis Dr Amir Khan dalam opininya yang dimuat Aljazeera, dikutip Rabu (10/2).

WHO telah mengungkapkan perhatiannya perihal ini dan ada ketakutan perjanjian unilateral dengan negara-negara kaya akan membuat vaksin tak bisa diakses negara miskin di dunia.

“Kita perlu mencegah nasionalisme vaksin,” kata Direktur WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menulis kepada seluruh negara anggota pada Agustus 2020.

Meskipun ada keinginan para pemimpin untuk melindungi rakyat mereka sendiri terlebih dahulu, respons terhadap pandemi ini harus bersifat kolektif.

Kekhawatiran negara-negara berkembang yang tidak memiliki akses ke vaksin adalah masalah serius, dan ini adalah masalah semua orang. Pandemi adalah masalah global; kita telah melihat betapa cepatnya hal itu dapat menyebar ke seluruh dunia, membuat beberapa negara dengan ekonomi terkuat bertekuk lutut.

Jika kita memvaksinasi hanya negara-negara yang membeli sebagian besar pasokan vaksin, itu berarti virus akan terus menyebar di negara-negara non-vaksinasi lainnya. Dan kita telah melihat betapa cepat dan efisiennya virus ini bermutasi jika dibiarkan merusak tanpa terkendali di seluruh populasi di mana pun.

Semakin banyak orang yang terinfeksi, semakin besar kemungkinan mutasi lebih lanjut akan terjadi dan tidak terhindarkan bahwa mutasi “melarikan diri” pada akhirnya akan muncul. Ini adalah mutasi yang memungkinkan virus menghindari respons kekebalan yang ditetapkan oleh vaksinasi, yang berarti mereka menjadi kurang efektif dalam mencegah penyakit serius. Mutasi baru kemudian cenderung menjadi tipe atau varian dominan dan dapat memicu rangkaian infeksi baru pada mereka yang divaksinasi hanya terhadap varian lama.

Perusahaan farmasi mengatakan mereka dapat “mengubah” vaksin mereka untuk memerangi varian baru yang mungkin muncul, tetapi itu mungkin membutuhkan waktu. Kita juga belum tahu apakah vaksin menghentikan penularan virus – apa yang kita tahu adalah bahwa vaksin memungkinkan tanggapan kekebalan yang lebih cepat oleh mereka yang divaksinasi, yang berarti lebih sedikit waktu bagi virus untuk berpotensi bermutasi di dalam inangnya. Oleh karena itu, kita membutuhkan tanggapan yang lebih global terhadap pandemi ini.

Oleh karena itu, nasionalisme vaksin sangatlah picik. Alternatifnya adalah program vaksin global dan inilah yang ingin dilakukan WHO melalui COVAX, fasilitas global yang didirikan pada April tahun lalu untuk mempercepat pengembangan obat-obatan untuk mengobati Covid-19 dan membuatnya tersedia di mana-mana.

Dibentuk bersama Aliansi Vaksin dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), agenda COVAX adalah untuk menyediakan akses inovatif dan setara ke diagnosis, perawatan, dan vaksin Covid-19. Sejauh ini, lebih dari 170 negara telah mendaftar ke COVAX, termasuk Inggris dan China. Sasarannya ambisius, tetapi dengan bekerja sama, semua negara yang menjadi bagian dari COVAX diharapkan mengikuti rencana untuk mendistribusikan vaksin secara adil untuk mencegah penimbunan. Ini akan membantu memastikan bahwa negara-negara termiskin sekalipun memiliki akses ke vaksin sementara yang paling kaya tetap terlindungi.

Varian Afrika Selatan

Apakah virus corona varian Afrika Selatan kurang rentan terhadap vaksin?

Ada kekhawatiran meningkat terkait virus corona varian Afrika Selatan yang dikaitkan dengan peningkatan jumlah kasus di beberapa negara lain. Sejauh ini, varian ini telah terindentifikasi di lebih dari 30 negara termasuk Inggris, Uni Emirat Arab, Belgia, dan Austria.

Walaupun para ahli bersikeras saat ini tak ada bukti varian Afrika Selatan, disebut 501 V2 – akan menyebabkan penyakit parah, mereka menyatakan kekhawatirannya varian itu kurang rentan terhadap respons kekebalan yang dipicu vaksin yang baru disetujui.

Varian Afrika Selatan termasuk mutasi N501Y yang teridentifikasi dalam varian Inggris, yang membuat virus lebih menular. Tapi termasuk juga mutasi lain, dikenal sebagai E484K.

Vaksin yang disetujui sejauh ini memicu respons imun dengan mengenali bagian protein lonjakan virus corona yang memungkinkan virus untuk menempel dan memasuki sel manusia. Namun, mutasi E484K mengubah bentuk protein lonjakan sedemikian rupa sehingga membuatnya kurang dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Hal itu yang mungkin membuatnya kurang rentan terhadap vaksin.

Para ilmuwan segera melakukan pengujian untuk melihat seberapa efektif vaksin-vaksin yang ada saat ini melawan varian ini, tetapi masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan.

Pfizer menerbitkan sebuah penelitian berdasarkan sampel darah yang diambil dari orang-orang yang telah disuntik menggunakan vaksinnya, menunjukkan kemungkinan hanya ada sedikit pengurangan efektivitas dalam merespons kekebalan yang dipicu oleh vaksin mereka terhadap virus rekayasa yang memiliki mutasi serupa dengan di Afrika Selatan.

Moderna melakukan penelitian berbasis laboratorium yang menunjukkan bahwa respons imun vaksinnya terhadap varian Afrika Selatan tetap menjanjikan, meskipun respons tersebut mungkin tidak sekuat atau bertahan lama jika dibandingkan dengan varian sebelumnya.

Novavax mengatakan vaksinnya memberikan perlindungan sampai 60 persen terhadap varian Afrika Selatan pada mereka yang memiliki sistem kekebalan yang sehat. Ini dianggap sebagai tingkat respons yang baik.

Kita telah melihat bagaimana varian Afrika Selatan telah menyebar dengan cepat di Afrika Selatan sendiri, yang mengalami lonjakan kasus. Sekarang lebih penting dari sebelumnya bahwa negara-negara di mana varian ini telah diidentifikasi melakukan lockdown ganda, pengendalian perbatasan dan tindakan jarak sosial serta melakukan pengujian cepat dan melakukan isolasi untuk menahan penyebarannya sampai hasil yang pasti dari uji coba vaksin diketahui.

Ini juga menunjukkan kepada kita mengapa nasionalisme vaksin sebagai kebijakan pemerintah akan terus membahayakan kita semua. Demikian seperti dilansir dari media Merdeka.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *