Hermanto Sipayung

Beritatoba.com – Simalungun – Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun (PPABS) bertambah gerah oleh ulah sejumlah oknum yang mengklaim memiliki tanah adat di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumut.

Bagaimana tidak, setelah segelintir masyarakat Nagori (Desa) Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, yang mengaku dirinya Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mengklaim memiliki tanah adat di Kabupaten Simalungun, kini muncul lagi marga Siallagan yang sama berasal dari Kabupaten Samosir juga mengklaim mempunyai tanah adat di Desa Pondok Bulu, Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan.

Begitu ironi disaat marga Siallagan yang mengaku tergabung dalam Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan kali ini tiba-tiba muncul dengan mengklaim memiliki tanah adat di lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari, Tbk di Dolok Parmonangan.

Perilaku Sorbatua Siallagan selaku Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan itu melakukan penebangan dan pembakaran eucalyptus di lahan konsesi milik TPL. Kemudian Sorbatua berakhir dibalik terali besi disusul aksi demo ke Polda Sumut yang diprovokasi dan ditunggangi oleh AMAN dan KSPPM.

“Tidak hanya di Simalungun, sudah berkali-kali AMAN dan KSPPM selalu memprovokasi masyarakat desa sekawasan Danau Toba yang bersentuhan dengan lahan konsesi TPL dengan isu yang sama yaitu tanah adat”, kata Dame Panjaitan SE kepada media ini.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Bidang Pengkajian dan Penelitian, Saurlin Siagian, mengatakan kasus yang dialami Sorbatua Siallagan sebenarnya tidak masuk ke ranah hukum dengan lasan karena ada proses administrasi dalam sengketa teritorial yang belum diselesaikan pemerintah.

Dalam hal ini Dame Panjaitan menegaskan bahwa pemikiran Saurlin justeru terbalik karena seharusnya pihak Sorbatua Siallagan, yang diprovokasi AMAN dan KSPPM, tidak menduduki dan melakukan penebangan serta pembakaran di lahan konsesi TPL jika memang masih  ada proses administrasi dalam sengketa teritorial yang belum diselesaikan pemerintah. Kemudian oleh karena terjadinya penebangan dan pembakaran serta pendudukan lahan konsesi maka sudah sewajarnya jika pihak Polda Sumut melakukan tindakan hukum. “Jadi jangan seenaknya saudara Saurlin mengatakan tidak masuk ranah hukum. Ini pemikiran terbalik”, kata Dame.   

Kemudian Saurlin menyebut, kemungkinan dalam satu atau dua tahun ini kasus sengketa tanah adat tersebut akan selesai. Saurlin mengungkapkan, terdapat 31 kasus sengketa tanah adat yang tengah terjadi di Tano Batak, salah satunya di Dolok Parmonangan. Penyelesaian konflik-konflik tersebut, menurutnya, sudah ada titik terang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Dalam hal ini juga jangan seenaknya Saurlin berucap dengan kata ‘kemungkinan’. Dalam bahasa hukum tidak ada yang namanya kemungkinan, dan proses hukum tidak ada kata menunggu hal yang tak pasti”, kata Dame seraya menghimbau supaya Saurlin jangan menjadi orang yang suka PHP (Pemberi Harapan Palsu) dengan berkata sudah ada titik terang.

“Makanya, kami minta sidang Sorbatua Siallagan dihentikan karena seharusnya kriminalisasi terhadap masyarakat adat tidak perlu dilakukan,” kata Saurlin di beberapa media. Masih menurut Dame Panjaitan, jangan seenaknya Saurlin mengatakan “seharusnya kriminalisasi terhadap masyarakat adat tidak perlu dilakukan”, karena tidak satupun ada pihak-pihak yang terbukti secara hukum telah melakukan kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan dan kawan=kawan yang mengaku-ngaku masyarakat hukum adat.         

Sementara itu Ketua Bidang Hukum dan Litbang DPP PPABS, Hermanto Sipayung SH, didampingi Wakil Sekretaris Rohdian Purba merasa terusik dengan klaim oknum bermarga Siallagan yang mengaku memiliki tanah adat di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

 “Tanah adat tidak ada di Simalungun. Kalaupun ada, ya tanah kerajaan namanya. Jadi dulu, Dolok Parmonangan merupakan wilayah Kerajaan Tanah Jawa,” ucap Hermanto Sipayung beberapa waktu lalu.

Dikatakan Dolok Parmonangan dahulunya bernama “Parmanangan”, dan merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Tanah Jawa.

Sebagai bukti, sebut Hermanto, di masa kepemimpinan Djintar Sinaga, ada perjanjian antara Kerajaan Tanah Jawa dengan Belanda yang tertuang dalam “Acte van Concessie” pada tahun 1912.

Pada perjanjian itu, Raja Tanah Jawa memberikan izin pengelolaan lahan kepada Belanda. Tanah itu berupa lahan di wilayah Dolok Parmonangan (Parmanangan). “Itu membuktikan bahwa Belanda mengakui, kalau pemilik lahan adalah Raja Tanah Jawa,” tandasnya.

“Jangan ada pihak-pihak yang membohongi sejarah atau yang mengabutkan sejarah,” tegasnya.

Perlu juga diingat, sebutnya, di wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun yang dikenal dengan “Raja Marpitu”, tidak mengenal istilah tanah adat/ulayat. Karena pemilik tanah di wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun adalah raja.

“Adapun raja-raja di Simalungun itu adalah Raja Silou bermarga Purba Tambak, Raja Panei bermarga Purba Dasuha, Raja Purba bermarga Purba Pakpak, Raja Silimakuta bermarga Girsang, Raja Raya bermarga Saragih Garingging, Raja Siantar bermarga Damanik dan Raja Tanah Jawa bermarga Sinaga,” ujarnya.

Beranjak dari kondisi seperti itu, DPP PPABS pun menyurati Presiden RI, Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan lembaga negara terkait lainnya. Dengan harapan, penyelenggara negara maupun pemerintah, agar segera menuntaskan problem yang cukup mengganggu masyarakat etnis Simalungun.

Melalui suratnya, DPP PPABS meminta Komnas HAM ketika membahas persoalan tanah di Dolok Parmonangan, agar mengacu kepada kepemilikan tanah, adat dan sejarah Simalungun.

“Kami juga meminta Komnas HAM menjaga independensinya, dengan tidak hanya menggali informasi dari satu pihak. Melainkan, harus meminta informasi dan pendapat dari pemangku adat dan budaya Simalungun, serta ahli waris dari raja-raja Simalungun,” katanya.

Lalu, DPP PPABS juga menyatakan, hingga saat ini, belum ada peraturan daerah (Perda) di Kabupaten Simalungun tentang pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.

Sehingga, ketika penetapan masyarakat hukum adat belum ada, maka ketentuan Pasal 67 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, serta Pasal 34 ayat 1 PP Nomo 33 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Kehutanan, tidak terpenuhi.

Pun demikian, jelas Hermanto, bila pun ada tanah adat/ulayat di Kabupaten Simalungun, selayaknya sebelumnya mendapatkan penetapan ahli waris raja-raja di Simalungun, maupun dari marga-marga Simalungun.

“Karena yang berhak menyatakan atau memiliki tanah adat di wilayah Simalungun adalah ahli waris raja,” katanya.

Beranjak dari hal itu, PPABS menetapkan kriteria untuk dapat disimpulkan memiliki tanah adat, yakni:

1. Memiliki Subjek, yang artinya , adanya masyarakat, aksara, bahasa, marga, tatanan kehidupan, ada tutur dan lainnya.

2. Memiliki Objek, yang artinya, adanya tanah, seperti parjalangan, tapian, tanah partuanon, galunggung dan lainnya.

3. Memiliki hubungan antar subjek dan objek.

4. Memiliki teritorial, garis keturunan, hubungan turunan darah, suku asli.

5. Adanya peraturan daerah (Perda) tentang masyarakat hukum adat dan tanah adat yang ditetapkan oleh pemerintah.

6. Tidak bisa dimiliki pribadi, harus dipergunakan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama dan dikuasai secara bersama-sama oleh masyarakat adat

7. Digunakan secara bersama-sama, untuk dikelola, bukan untuk dimiliki atau bukan untuk menjadi hak milik perorangan.

“Jadi apa landasan mereka menklaim tanah adat? Kami tegaskan lagi, tidak ada tanah adat di tanah Simalungun. Mari kita jaga Habonaron do Bona,” tegasnya.(T1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *