Albiner Sitorus MBA
Beritatoba.com – Toba – Kontroversi soal Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Toba tampaknya semakin meruncing setelah tim verifikasi dan identifikasi melakukan tugasnya selama beberapa bulan terakhir pada 2021 lalu, namun hingga saat ini masih belum menerbitkan rekomendasi atau surat keputusan soal layak atau tidak tidak layaknya pembentukan MHA di 7 lokasi desa yang diusulkan di Kabupaten Toba itu.
Seperti dikutip dari Tribune Medan, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Toba, Audi Murphy Sitorus, mengatakan bahwa lahan di tujuh lokasi yang diklaim sebagai tanah adat di Kabupaten Toba tidak memenuhi syarat menjadi kawasan adat atau yang dikenal dengan sebutan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Pernyataan Murphy ini berdasarkan verifikasi dan identifikasi yang menyebutkan bahwa lahan yang selama ini diklaim milik masyarakat adat itu merupakan tanah negara.
Dikatakan pula bahwa pihaknya sudah mengundang berbagai pihak, khususnya lembaga-lembaga yang berkenaan dengan masyarakat adat diantaranya KSPPM dan AMAN Tano Batak. Selain itu juga hadir pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam pertemuan yang digelar beberapa waktu lalu.
Pada pemberitaan lainnya yang dilansir dari Tribune Medan, Murphy Sitorus menjelaskan bahwa proses identifikasi dan verifikasi masyarakat adat di Kabupaten Toba yang dilaksanakan Tim Terpadu Identifikasi dan Verifikasi tidak menyangkut lahan melainkan pengakuan masyarakat hukum adat.
Kemudian dijelaskannya pula bahwa tim terpadu yang terjun langsung ke lapangan itu bekerja berdasarkan dua peraturan yaitu Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan perlindungan masyarakat hukum adat dan Perda Nomor 1 tahun 2020 tentang hak ulayat masyarakat hukum adat Batak Toba Kabupaten Toba. Dengan berpedoman pada kedua peraturan ini maka panitia masyarakat hukum adat yang dibentuk dengan keputusan Bupati Toba Nomor 96 Tahun 2021, belum dapat menyetujui permohonan calon masyarakat hukum adat.
Ditegaskan pula bahwa pengakuan masyarakat hukum adat harus dengan keputusan bupati dan tidak menyangkut soal lahan atau tanah.
Sementara itu disis lain Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak, seperti dilansir dari Tribune Medan mengatakan bahwa hasil identifikasi dan Verifikasi tanah ulayat di Kabupaten Toba belum final, justru yang ada itu adalah hasil sementara.
Dalam hal ini Roganda menyayangkan pernyataan Sekda Toba yang mengatakan bahwa usulan MHA di tujuh lokasi tidak ada yang layak. Sementara menurut Roganda sudah ada dua lokasi yang selesai proses verifikasinya dan akan ditetapkan melalui SK Bupati dan SK Menteri LHK. Lima lokasi lagi prosesnya masih lanjut.
Tokoh Pemuda Kecamatan Habinsaran, Kecamatan Borbor dan Kecamatan Nassau (Habornas), Albiner Sitorus, menanggapi kontroversial ini kepada beritatoba.com, Selasa (11/1/2022), mengatakan bahwa yang paling mengetahui soal sejarah dan hukum adat di Habornas itu bukan LSM AMAN Tano Batak atau KSPPM. “Memangnya siapa itu roganda simanjuntak, kelahiran mana dia itu. Kemudian si delima silalahi itu kelahiran mana dan berdomisili dimana memangnya dia ini…? Sudah jelas bahwa roganda bukan kelahiran Kabupaten Toba. Dan si delima yang saya tahu bukan warga Toba melainkan warga Kabupaten Tapanuli Utara. Jadi jangan sok tau yang dua ini soal masyarakat hukum adat di Toba”, tegas Albiner.
Albiner Sitorus yang juga dikenal sebagai Ketua Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK) Kabupaten Toba, mengaku sebagai putra asli dan kelahiran Habornas sangat mengenal betul sejarah dan perkembangan masyarakat hukum adat dan ulayat di Habornas. “Saya tahu betul soal sejarah adat istiadat dikampung saya. Dan saya juga tahu betul letak dan batas-batas tanah masyarakat, tanah ulayat dan tanah kawasan lindung atau tanah negara di Habornas. Sekali lagi jangan sok tahu AMAN dan KSPPM itu”, imbuhya.
Dikatakannya pula bahwa informasi yang beredar menyebutkan bahwa dua lokasi yang disebut oleh Roganda Simanjuntak sudah terverifikasi dan menunggu akan ditetapkan dalam SK Bupati dan SK Menteri LHK itu adalah Dusun Simenakhenak dan Desa Janji Maria. Untuk kedua desa ini, Albiner Sitorus menjelaskan bahwa kedua desa tersebut rawan konflik jika disetujui menjadi lokasi MHA lantaran Dusun Simenakhenak dihuni oleh warga yang kebanyakan marganya berasal dari luar Kabupaten Toba, artinya bukan penduduk asli. Demikian pula dengan Desa Janji Maria yang selama puluhan tahun ini dikenal menjadi daerah transmigrasi sehingga penduduknya pun bukan penduduk asli. “Pengakuan tanah adat harus bisa dibuktikan dengan adanya kuburan nenek moyangnya yang sudah ratusan tahun di daerah tersebut”, katanya.
Untuk itu Albiner menyarankan ke pemerintah agar pembentukan MHA ini supaya tidak menimbulkan persoalan baru. “Saya himbau agar pemerintah berhati-hatilah sebelum membuat keputusan soal masyarakat hukum adat dan tanah adat. Jangan sampai menimbulkan perpecahan ditengah masyarakat”, himbaunya.(R1)