Hermanto Sipayung (Kiri).
Barent Ambarita
Beritatoba.com – Simalungun – Terkait kontroversi tanah adat di Kabupaten Simalungun, Dewan Pimpinan Pusat Partumpuan Pemangku Adat Budaya (DPP PPAB) Simalungun secara tegas menyatakan tidak ada satu pihak manapun yang memiliki tanah adat di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumut.
Hal ini ditegaskan oleh DPP PPAB Simalungun beberapa waktu lalu karena adanya kelompok tertentu yang mengklaim sebagai pemilik Hak Tanah Adat atau Tanah Ulayat di Kabupaten Simalungun yang dinilai melanggar hukum dan tidak memiliki dasar.
Kemudian untuk memperjelas soal kepemilikan tanah adat yang diklaim golongan tertentu itu, akhirnya DPP PPAB Simalungun melakukan klarifikasi resmi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Ketua Bidang Hukum dan HAM PPAB Simalungun, Hermanto Hamonangan Sipayung SH, saat dikonfirmasi beritatoba.com terkait kontroversi kepemilikan tanah adat dan tanah ulayat tersebut, Senin (7/8/2023), menerangkan bahwa PPAB Simalungun sudah dua kali menyurati Presiden Jokowi terkait adanya kelompok atau pihak masyarakat yang mengklaim bahwa Nagori (Desa) Sihaporas di Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, sebagai tanah adatnya.
Atas pengklaiman tanah adat tersebut, PPAB Simalungun melayangkan surat ke Presiden dan KLHK untuk menanyakan keabsahan tanah adat tersebut.
Hermanto menegaskan bahwa berdasrkan hasil kunjungan PPAB Simalungun ke KLHK di Jakarta sudah dapat dipastikan jika tidak ada satu pihak manapun yang memiliki tanah adat di Kabupaten Simalungun.
“PPAB Simalungun sudah secara langsung bertemu dengan Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, bapak M Sait, tentang klaim tanah adat di Simalungun. Hasilnya, ternyata belum ada ditetapkan kepada kelompok manapun soal kepemilikan tanah adat dan tanah ulayat di Simalungun.,” tegas Hermanto.
Ditambahkannya pula bahwa pada 10 Juli 2023 lalu, PPAB Simalungun sudah bertemu dengan pihak Kementerian LHK yang hasilnya menyatakan belum ada dikeluarkan satu surat pun yang menetapkan ada kelompok yang memiliki tanah adat di Simalungun.
Masih menurut Hermanto, bila ada klaim oleh kelompok-kelompok tertentu memiliki tanah adat atau tanah ulayat di Simalungun itu melanggar hukum dan tidak memiliki dasar hukum. Sebab, dalam hal penetapan kepemilikan tanah adat itu harus ada Peraturan Daerah tentang hal itu, dan hingga ada surat penghunjukan dari kementerian.
“Itu garis besar pertemuan kami. Kita juga mempertanyakan tentang sertifikat yang dibagi-bagikan kelompok tertentu kepada masyarakat yakni sertifikat BRWA. Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian LHK menegaskan bahwa itu tidak sah karena bukan dikeluarkan lembaga pemerintah,” ungkap Hermanto.
Hermanto menyebutkan, pihak pemerintah yakni Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian LHK memastikan BRWA bukan lembaga resmi pemerintahan. Maka dari itu, lanjut Hermanto, PPAB Simalungun meminta pihak-pihak yang mengklaim adanya tanah adat mereka di Simalungun untuk menghentikan pernyataan pengklaiman itu.
Hermanto juga meminta kepada Presiden agar pemerintah pusat tidak mengakomodir kelompok tertentu dan mengesampingkan keberadaan suku asli Simalungun tentang proses klaim tanah adat dan tanah ulayat di Simalungun.
Sementara itu anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras) Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Barent Ambarita, saat dikonfirmasi via chat WA, Senin (7/8/2023), terkait pernyataan PPAB Simalungun tersebut kepada beritatoba.com mengatakan bahwa pihaknya tidak akan terpengaruh dengan pernyataan orang lain sebab urusan mereka (Lamtoras, red) adalah pemerintah.
“Jadi kami fokus mendesak pemerintah agar mengembalikan wilayah adat kami”, kata Barent Ambarita.
Disinggung soal klaim wilayah adat di sekitaran lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari, Tbk, hingga berita ini dipulish masih belum ditanggapi oleh Barent Ambarita.(SS1)
Chat WA