Beritatoba.com – Polisi Gedung US Capitol Amerika Serikat berhasil menangkap seorang pria asal Virginia yang hendak memasuki kawasan kompleks gedung parlemen itu dengan memakai surat jalan palsu jelang pelantikan presiden terpilih Joe Biden Rabu mendatang.

Kerusakan Gedung Capitol AS. ©REUTERS

Wesley Allen Beeler, nama pria itu, mengendarai kendaraannya menuju pos pemeriksaan di Gedung Capitol dan E Street NE, sebelah utara gedung parlemen AS, kemarin malam dan menyerahkan surat izin palsu untuk melewati pemeriksaan, menurut dokumen yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Washington DC.

Dilansir dari laman the Times of Israel, Minggu (17/1/2021), ketika petugas tengah memeriksa daftar akses masuk orang itu, seorang petugas melihat di bagian belakang mobil pick up Beeler tertulis “Kehidupan Penyerangan” dengan gambar sebuah senapan dan ada slogan “Jika mereka mengincar senjatamu, tembakkan dulu pelurumu”.

Ketika diperiksa Beeler mengatakan kepada petugas dia membawa senjata di dalam mobilnya. Hasil penggeledahan menemukan senjata dengan 509 amunisi, magazin dan peluru senapan, kata dokumen pengadilan.

Laporan polisi menyatakan Beeler ditangkap atas tuduhan memiliki senjata tanpa izin dan sejumlah amunisi.

Washington kini dalam keadaan siaga tinggi menjelang pelantikan presiden terpilih Joe Biden Rabu mendatang setelah massa pendukung Presiden Donald Trump menyerbu dan menduduki Gedung US Capitol pekan lalu. Lima orang tewas, termasuk seorang polisi dalam peristiwa itu.

FBI Lacak Adanya Ancaman “Signifikan”

Aparat keamanan memperingatkan adanya kelompok ekstremis pendukung Trump yang kemungkinan membawa bahan peledak bisa mengancam Washington dan sejumlah gedung parlemen di berbagai negara bagian dalam beberapa pekan mendatang. Ribuan pasukan Garda Nasional dikerahkan di Washington dan sejumlah blokade beton dipasang di jalanan ibu kota AS itu.

Gedung FBI Miami AS

National Mall yang biasanya dipadati warga yang hendak menyaksikan pelantikan presiden saban empat tahun sekali, diminta untuk membatasi pengunjung atas permohonan pasukan pengawal presiden Secret Service.

FBI sedang melacak banyaknya obrolan di media sosial termasuk seruan unjuk rasa bersenjata menjelang pelantikan Presiden AS terpilih, Joe Biden. Hal ini diungkapkan Direktur FBI, Chris Wray pada Kamis.

Wray, yang pertama kali muncul di depan publik sejak kerusuhan US Capitol pada 6 Januari lalu, mengatakan dalam sebuah pemaparan keamanan untuk Wakil Presiden Mike Pence bahwa FBI tetap memperhatikan adanya potensi kekerasan dalam unjuk rasa di Washington dan di negara bagian seluruh AS.

Wray memperingatkan, kejadian-kejadian seperti itu bisa membawa orang-orang bersenjata mendekati gedung pemerintah dan pejabat terpilih.

“Salah satu tantangan nyata di tempat ini adalah mencoba membedakan mana yang aspiratif versus mana yang disengaja”, jelasnya, dilansir France 24, Jumat (15/1//2021).

Wray mengatakan FBI menerima informasi dalam jumlah yang “signifikan” yang telah diteruskan ke lembaga penegak hukum lainnya menjelang pelantikan. Berbagi informasi sangat penting sebelum agenda publik penting seperti pelantikan, tetapi masalah ini mendapat sorotan khusus penegak hukum dinilai tidak siap menghadapi kekerasan seperti yang terjadi di Capitol.

Sejarah Kelam

Jika awal tahun 2021 yang menegangkan membuat Anda khawatir sejarah terulang kembali, Anda mungkin tidak sendirian. Para pakar sejarah politik mengatakan, ada kesesuaian antara pemberontakan 6 Januari di US Capitol dengan apa yang terjadi 160 tahun lalu, ketika tujuh negara bagian di selatan memisahkan diri dari Amerika Serikat antara Desember 1860 dan Februari 1861.

Perjalanan ke pelantikan pertama Lincoln juga dramatis. Faktanya, sebulan setelah Lincoln disumpah pada 4 Maret 1861, tembakan ke Fort Sumter menandai dimulainya Perang Sipil, perang paling mematikan di Amerika.

“Menurut saya 1860-1861 mungkin analog terbaik untuk (2021)”, jelas pakar politik Robert Lieberman, yang juga penulis Four Threats: The Recurring Crises of American Democracy, dilansir TIME, Jumat (15/1/2021).

Leiberman mengatakan, penyerangan Gedung Parlemen atau US Capitol pekan lalu adalah “yang paling dekat dengan tahun 1861, satu contoh kegagalan nyata dari apa yang Anda sebut peralihan kekuasaan damai yang berjalan lancar”.

Perbedaan besar yang Lieberman temukan antara dulu dan sekarang adalah bahwa pemberontakan 2021 datang “dari dalam pemerintahan,” merujuk pada anggota Kongres dan Presiden Donald Trump yang menghasut para pemberontak.

“Ini adalah pemberontakan yang dihasut Presiden Amerika Serikat”, cetusnya.

“Itu sama sekali tanpa preseden. Itu sangat mencengangkan bagi saya”, lanjut Lieberman.

Tidak seperti tahun 2020, pada 1860 tak ada politikus yang melontarkan tuduhan tak berdasar atas kecurangan pemilu. Namun, “itu mengarah pada kegagalan terbesar demokrasi Amerika dalam sejarah,” seperti yang dikatakan Lieberman.

Pada 1860, Demokrat di wilayah Selatan “semua setuju Lincoln menang. Tetapi kesamaannya mungkin, dalam kedua kasus, ada penolakan terhadap proses demokrasi,” jelas Direktur Pusat Era Perang Sipil George dan Ann Richards Universitas Negeri Pennsylvania, Rachel Shelden.

“(Hari ini) kami melihat penolakan terhadap gagasan bahwa mayoritas memilih Joe Biden, dan pada tahun 1860 meskipun orang-orang ini mengatakan ya, Lincoln memenangkan pemilihan, itu, bagi mereka, berarti mereka harus meninggalkan Persatuan, yang mana dalam dan dari dirinya sendiri, penolakan terhadap demokrasi. Mereka berdua menolak proses demokrasi, hanya dengan cara yang berbeda.”

Sejarawan Ted Widmer mengatakan kepada New York Times, massa memang berusaha masuk ke Capitol pada 13 Februari 1861, untuk menghentikan penghitungan suara elektoral sah negara bagian. Pihak keamanan US Capitol tidak mengizinkan mereka masuk karena mereka tidak memiliki izin.

Sebaliknya, mereka berdiri di luar melontarkan berbagai hinaan ke kepala petugas keamanan Capitol Jenderal Winfield Scott. Pengamat di TKP saat itu menggambarkan kerumunan itu sebagai “sekam yang mudah terbakar” dengan “revolusi” di benak mereka.

Akhir bulan itu, Lincoln menerima ancaman pembunuhan dalam perjalanan menuju pelantikannya. Saat dia berangkat menggunakan kereta api menuju Washington, DC, kepala Dinas Rahasia Allan Pinkerton dan beberapa mata-mata mengungkap sebuah rencana, yang berasal dari Baltimore, untuk membunuh Lincoln.

Abraham Lincoln

“Pinkerton pergi ke Baltimore dengan tim mata-mata dan mereka berpura-pura menjadi pembenci Lincoln dan mendapatkan semua informasi terkait rencana itu, kemudian menyampaikan kepada Lincoln dan rombongannya,” jelas Widmer, penulis buku terkait rencana tersebut berjudul Lincoln on the Verge: Thirteen Days to Washington kepada TIME.

“Itu didanai dengan sangat baik. Kami tidak sepenuhnya tahu apakah pemerintah Konfederasi baru berada di belakangnya; ada jalan yang menarik tapi tidak konklusif.”

Di tengah malam pada malam terakhir perjalanan Lincoln, detektif mengawalnya ke stasiun transit yang aman sehingga dapat melanjutkan perjalanan ke DC, dan dia tiba dengan selamat, sehingga pengambilan sumpah pada 4 Maret 1861 dapat berlangsung.

Melihat ke belakang saat Lincoln lolos dari bahaya, kurang dari sepekan setelah serangan massa di US Capitol, Widmer berkata “Rasanya sangat mirip (dengan 6 Januari 2021).”

“Seperti pada tahun 1861, Anda memiliki perasaan sebuah negara yang terbelah, saat itu benar-benar sebuah wilayah yang menarik diri dari bagian lain negara itu dan tujuh negara bagian telah memisahkan diri bahkan sebelum Lincoln tiba di Washington,” katanya.

“Sekarang ini hampir terjadi di setiap keluarga, di setiap negara bagian di negara ini, ada orang yang terasing dari satu versi Amerika atau versi lainnya. Tapi rasanya serupa karena ada dua gagasan yang saling bersaing tentang apa yang seharusnya diperjuangkan Amerika.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *