NOMOR 32 TAHUN 2009  

TENTANG  

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP  

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA  

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  

Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat  merupakan hak asasi setiap warga negara  

Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal  

28H Undang-Undang Dasar Negara Republik  

Indonesia Tahun 1945;  

b. bahwa pembangunan ekonomi nasional  sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang  

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  

diselenggarakan berdasarkan prinsip  

pembangunan berkelanjutan dan berwawasan  

lingkungan;  

 c. bahwa semangat otonomi daerah dalam  penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan  

Republik Indonesia telah membawa perubahan  

hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan  

pemerintah daerah, termasuk di bidang  

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;  

 d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin  menurun telah mengancam kelangsungan  

perikehidupan manusia dan makhluk hidup  

lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan  

dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh 

sungguh dan konsisten oleh semua pemangku  

kepentingan;  

e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat  mengakibatkan perubahan iklim sehingga  

memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup  

karena itu perlu dilakukan perlindungan dan  

pengelolaan lingkungan hidup;  

f. bahwa . . .

 – 2 – 

f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum  dan memberikan perlindungan terhadap hak  

setiap orang untuk mendapatkan lingkungan  

hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari  

perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,  

perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang 

Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang  

Pengelolaan Lingkungan Hidup;  

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana  dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf  

d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk  

Undang-Undang tentang Perlindungan dan  

Pengelolaan Lingkungan Hidup;  

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal  33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  

Dengan Persetujuan Bersama  

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA  dan  

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA  

MEMUTUSKAN:  

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.  

 BAB I  

 KETENTUAN UMUM  

 Pasal 1  

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:  

1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan  semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,  

termasuk manusia dan perilakunya, yang  

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan  

perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta  

makhluk hidup lain.  

2. perlindungan . . .

 – 3 – 

2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup  adalah upaya sistematis dan terpadu yang  dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan  hidup dan mencegah terjadinya pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang  meliputi perencanaan, pemanfaatan,  pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan  penegakan hukum.  

3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar  dan terencana yang memadukan aspek lingkungan  hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi  pembangunan untuk menjamin keutuhan  lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,  kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini  dan generasi masa depan.  

4. Rencana perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat  RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat  potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya  perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun  waktu tertentu.  

5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan  hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam  membentuk keseimbangan, stabilitas, dan  produktivitas lingkungan hidup.  

6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah  rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan  daya dukung dan daya tampung lingkungan  hidup.  

7. Daya dukung lingkungan hidup adalah  kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung  perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan  keseimbangan antarkeduanya.  

8. Daya tampung lingkungan hidup adalah  kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap  zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk  atau dimasukkan ke dalamnya.  

9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan  hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan  nonhayati yang secara keseluruhan membentuk  kesatuan ekosistem.  

10. Kajian . . .

 – 4 – 

10. Kajian lingkungan hidup strategis, yang  selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian  analisis yang sistematis, menyeluruh, dan  partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip  pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar  dan terintegrasi dalam pembangunan suatu  wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau  program.  

11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang  selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian  mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau  kegiatan yang direncanakan pada lingkungan  hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan  keputusan tentang penyelenggaraan usaha  dan/atau kegiatan.  

12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya  pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya  disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan  pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan  yang tidak berdampak penting terhadap  lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses  pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan  usaha dan/atau kegiatan.  

13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran  batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau  komponen yang ada atau harus ada dan/atau  unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya  dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur  lingkungan hidup.  

14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau  dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,  dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan  hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui  baku mutu lingkungan hidup yang telah  ditetapkan.  

15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah  ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,  dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat  ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat  tetap melestarikan fungsinya.  

16. Perusakan . . .

 – 5 – 

16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan  orang yang menimbulkan perubahan langsung  atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,  dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga  melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan  hidup.  

17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan  langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat  fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup  yang melampaui kriteria baku kerusakan  lingkungan hidup.  

18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan  sumber daya alam untuk menjamin  pemanfaatannya secara bijaksana serta  kesinambungan ketersediaannya dengan tetap  memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta  keanekaragamannya.  

19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang  diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh  aktivitas manusia sehingga menyebabkan  perubahan komposisi atmosfir secara global dan  selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim 

alamiah yang teramati pada kurun waktu yang  dapat dibandingkan.  

20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau  kegiatan.  

21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya  disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau  komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,  dan/atau jumlahnya, baik secara langsung  maupun tidak langsung, dapat mencemarkan  dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau  membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,  serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk  hidup lain.  

22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang  selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu  usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.  

23. Pengelolaan . . .

 – 6 – 

23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang  meliputi pengurangan, penyimpanan,  pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,  pengolahan, dan/atau penimbunan.  

24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan  membuang, menempatkan, dan/atau  memasukkan limbah dan/atau bahan dalam  jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu  dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan  hidup tertentu.  

25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan  antara dua pihak atau lebih yang timbul dari  kegiatan yang berpotensi dan/atau telah  berdampak pada lingkungan hidup.  

26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh  perubahan pada lingkungan hidup yang  diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.  

27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok  orang yang terorganisasi dan terbentuk atas  kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya  berkaitan dengan lingkungan hidup.  

28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang  dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung  jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap  persyaratan hukum dan kebijakan yang  ditetapkan oleh pemerintah.  

29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki  kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna  asli, serta pola interaksi manusia dengan alam  yang menggambarkan integritas sistem alam dan  lingkungan hidup.  

30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang  berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk  antara lain melindungi dan mengelola lingkungan  hidup secara lestari.  

31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok  masyarakat yang secara turun temurun bermukim  di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan  pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang  kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya  sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,  politik, sosial, dan hukum.  

32. Setiap . . .

 – 7 – 

32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau  badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun  yang tidak berbadan hukum.  

33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah  seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong  Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang  ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.  

34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak  luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan  keresahan masyarakat.  

35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada  setiap orang yang melakukan usaha dan/atau  kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam  rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin  usaha dan/atau kegiatan.  

36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang  diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan  usaha dan/atau kegiatan.  

37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut  Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia  yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara  Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945.  

38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau  walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur  penyelenggara pemerintah daerah.  

39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan  urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup.  

BAB II . . .

 – 8 – 

 BAB II  

 ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP  

 Bagian Kesatu  

 Asas  

 Pasal 2  

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup  dilaksanakan berdasarkan asas:  

a. tanggung jawab negara;  

b. kelestarian dan keberlanjutan;  

c. keserasian dan keseimbangan;  

d. keterpaduan;  

e. manfaat;  

f. kehati-hatian;  

g. keadilan;  

h. ekoregion;  

i. keanekaragaman hayati;  

j. pencemar membayar;  

k. partisipatif;  

l. kearifan lokal;  

m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan  n. otonomi daerah.  

 Bagian Kedua  

 Tujuan  

 Pasal 3  

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup  bertujuan:  

a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup;  

b. menjamin . . .

 – 9 – 

b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan  manusia;  

c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup  dan kelestarian ekosistem;  

d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;  

e. mencapai keserasian, keselarasan, dan  keseimbangan lingkungan hidup;  

f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa  kini dan generasi masa depan;  

g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas  lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi  

manusia;  

h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam  secara bijaksana;  

i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan  

j. mengantisipasi isu lingkungan global.  

 Bagian Ketiga  

 Ruang Lingkup  

Pasal 4  

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup  meliputi:  

a. perencanaan;  

b. pemanfaatan;  

c. pengendalian;  

d. pemeliharaan;  

e. pengawasan; dan  

f. penegakan hukum.  

BAB III  

PERENCANAAN  

Pasal 5  

Perencanaan perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan:  

a.inventarisasi . . .

 – 10 – 

a. inventarisasi lingkungan hidup;  

b. penetapan wilayah ekoregion; dan  

c. penyusunan RPPLH.  

Bagian Kesatu  

Inventarisasi Lingkungan Hidup  

Pasal 6  

(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas  inventarisasi lingkungan hidup:  

a. tingkat nasional;  

b. tingkat pulau/kepulauan; dan  

c. tingkat wilayah ekoregion.  

(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk  memperoleh data dan informasi mengenai sumber  daya alam yang meliputi:  

a. potensi dan ketersediaan;  

b. jenis yang dimanfaatkan;  

c. bentuk penguasaan;  

d. pengetahuan pengelolaan;  

e. bentuk kerusakan; dan  

f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat  pengelolaan.  

Bagian Kedua  

Penetapan Wilayah Ekoregion  

Pasal 7  

(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf  b menjadi dasar dalam penetapan wilayah  ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah  berkoordinasi dengan instansi terkait.  

(2) Penetapan . . .

 – 11 – 

(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan  mempertimbangkan kesamaan:  

a. karakteristik bentang alam;  

b. daerah aliran sungai;  

c. iklim;  

d. flora dan fauna;  

e. sosial budaya;  

f. ekonomi;  

g. kelembagaan masyarakat; dan  

h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.  

Pasal 8  

Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah  ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat  (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung  dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.  

Bagian Ketiga  

Penyusunan Rencana Perlindungan  

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  

Pasal 9  

(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5  huruf c terdiri atas:  

a. RPPLH nasional;  

b. RPPLH provinsi; dan  

c. RPPLH kabupaten/kota.  

(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) huruf a disusun berdasarkan  inventarisasi nasional.  

(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:  

a. RPPLH nasional;  

b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan  c. inventarisasi tingkat ekoregion.  

(4) RPPLH . . .

 – 12 – 

(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun  berdasarkan:  

a. RPPLH provinsi;  

b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan  c. inventarisasi tingkat ekoregion.  

Pasal 10  

(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9  disusun oleh Menteri, gubernur, atau  bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya.  

(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) memperhatikan:  

a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;  b. sebaran penduduk;  

c. sebaran potensi sumber daya alam;  

d. kearifan lokal;  

e. aspirasi masyarakat; dan  

f. perubahan iklim.  

(3) RPPLH diatur dengan:  

a. peraturan pemerintah untuk RPPLH  nasional;  

b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH  provinsi; dan  

c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk  RPPLH kabupaten/kota.  

(4) RPPLH memuat rencana tentang:  

a. pemanfaatan dan/atau pencadangan  sumber daya alam;  

b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas  dan/atau fungsi lingkungan hidup;  

c. pengendalian, pemantauan, serta  pendayagunaan dan pelestarian sumber daya  alam; dan  

d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan  iklim.  

(5) RPPLH . . .

 – 13 – 

(5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat  dalam rencana pembangunan jangka panjang  dan rencana pembangunan jangka menengah.  

Pasal 11  

Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal  10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.  

BAB IV  

PEMANFAATAN  

Pasal 12  

(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan  berdasarkan RPPLH.  

(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber  daya alam dilaksanakan berdasarkan daya  dukung dan daya tampung lingkungan hidup  dengan memperhatikan:  

a. keberlanjutan proses dan fungsi  lingkungan hidup;  

b. keberlanjutan produktivitas lingkungan  hidup; dan  

c. keselamatan, mutu hidup, dan  kesejahteraan masyarakat.  

(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan  hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  ditetapkan oleh:  

a. Menteri untuk daya dukung dan daya  tampung lingkungan hidup nasional dan  pulau/kepulauan;  

b. gubernur . . .

 – 14 – 

b. gubernur untuk daya dukung dan daya  tampung lingkungan hidup provinsi dan  ekoregion lintas kabupaten/kota; atau  

c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya  tampung lingkungan hidup kabupaten/kota  dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.  

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara  penetapan daya dukung dan daya tampung  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud  pada ayat (3) diatur dalam peraturan  pemerintah.  

BAB V  

PENGENDALIAN  

Bagian Kesatu  

Umum  

Pasal 13  

(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka  pelestarian fungsi lingkungan hidup.  

(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) meliputi:  

a. pencegahan;  

b. penanggulangan; dan  

c. pemulihan.  

(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,  pemerintah daerah, dan penanggung jawab  usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan  kewenangan, peran, dan tanggung jawab  masing-masing.  

Bagian Kedua . . .

 – 15 – 

Bagian Kedua  

Pencegahan  

Pasal 14  

Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau  kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:  a. KLHS;  

b. tata ruang;  

c. baku mutu lingkungan hidup;  

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;  e. amdal;  

f. UKL-UPL;  

g. perizinan;  

h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;  i. peraturan perundang-undangan berbasis  lingkungan hidup;  

j. anggaran berbasis lingkungan hidup;  k. analisis risiko lingkungan hidup;  

l. audit lingkungan hidup; dan  

m.instrumen lain sesuai dengan kebutuhan  dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.  

Paragraf 1  

Kajian Lingkungan Hidup Strategis  

Pasal 15  

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib  membuat KLHS untuk memastikan bahwa  prinsip pembangunan berkelanjutan telah  menjadi dasar dan terintegrasi dalam  pembangunan suatu wilayah dan/atau  kebijakan, rencana, dan/atau program.  

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib  melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau  evaluasi:  

a. rencana . . .

 – 16 – 

a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta  rencana rincinya, rencana pembangunan  jangka panjang (RPJP), dan rencana  pembangunan jangka menengah (RPJM)  nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan  

b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang  berpotensi menimbulkan dampak dan/atau  risiko lingkungan hidup.  

(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:  a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana,  dan/atau program terhadap kondisi  lingkungan hidup di suatu wilayah;  

b. perumusan alternatif penyempurnaan  kebijakan, rencana, dan/atau program; dan  

c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan  keputusan kebijakan, rencana, dan/atau  program yang mengintegrasikan prinsip  pembangunan berkelanjutan.  

Pasal 16  

KLHS memuat kajian antara lain:  

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung  lingkungan hidup untuk pembangunan;  

b. perkiraan mengenai dampak dan risiko  lingkungan hidup;  

c. kinerja layanan/jasa ekosistem;  

d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;  

e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi  terhadap perubahan iklim; dan  

f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman  hayati.  

Pasal 17  

(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal  15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan,  rencana, dan/atau program pembangunan  dalam suatu wilayah.  

(2) Apabila . . .

 – 17 – 

(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung  dan daya tampung sudah terlampaui,  

a. kebijakan, rencana, dan/atau program  pembangunan tersebut wajib diperbaiki  sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan  

b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah  melampaui daya dukung dan daya tampung  lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.  

Pasal 18  

(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15  ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan  masyarakat dan pemangku kepentingan.  

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara  penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan  Pemerintah.  

Paragraf 2  

Tata Ruang  

Pasal 19  

(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan  hidup dan keselamatan masyarakat, setiap  perencanaan tata ruang wilayah wajib  didasarkan pada KLHS.  

(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan  memperhatikan daya dukung dan daya  tampung lingkungan hidup.  

Paragraf 3  

Baku Mutu Lingkungan Hidup  

Pasal 20  

(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan  hidup diukur melalui baku mutu lingkungan  hidup.  

(2) Baku mutu . . .

 – 18 – 

(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:  

a. baku mutu air;  

b. baku mutu air limbah;  

c. baku mutu air laut;  

d. baku mutu udara ambien;  

e. baku mutu emisi;  

f. baku mutu gangguan; dan  

g. baku mutu lain sesuai dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi.  

(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang  limbah ke media lingkungan hidup dengan  persyaratan:  

a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup;  dan  

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau  bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya.  

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan  huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.  

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f  diatur dalam peraturan menteri.  

Paragraf 4  

Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup  

Pasal 21  

(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan  lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku  kerusakan lingkungan hidup.  

(2) Kriteria . . . 

 – 19 – 

(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup  meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan  kriteria baku kerusakan akibat perubahan  iklim.  

(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:  a. kriteria baku kerusakan tanah untuk  produksi biomassa;  

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;  

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup  yang berkaitan dengan kebakaran hutan  dan/atau lahan;  

d. kriteria baku kerusakan mangrove;  e. kriteria baku kerusakan padang lamun;  f. kriteria baku kerusakan gambut;  

g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau  

h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya  sesuai dengan perkembangan ilmu  pengetahuan dan teknologi.  

(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan  iklim didasarkan pada paramater antara lain:  a. kenaikan temperatur;  

b. kenaikan muka air laut;  

c. badai; dan/atau  

d. kekeringan.  

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria  baku kerusakan lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan  ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan  Peraturan Pemerintah.  

Paragraf 5 . . . 

 – 20 – 

Paragraf 5  

Amdal  

Pasal 22  

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang  berdampak penting terhadap lingkungan  hidup wajib memiliki amdal.  

(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan  kriteria:  

a. besarnya jumlah penduduk yang akan  terkena dampak rencana usaha dan/atau  kegiatan;  

b. luas wilayah penyebaran dampak;  

c. intensitas dan lamanya dampak  berlangsung;  

d. banyaknya komponen lingkungan hidup  lain yang akan terkena dampak;  

e. sifat kumulatif dampak;  

f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak;  dan/atau  

g. kriteria lain sesuai dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi.  

Pasal 23  

(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang  berdampak penting yang wajib dilengkapi  dengan amdal terdiri atas:  

a. pengubahan bentuk lahan dan  bentang alam;  

b. eksploitasi sumber daya alam, baik  yang terbarukan maupun yang tidak  terbarukan;  

c. proses . . . 

 – 21 – 

c. proses dan kegiatan yang secara  potensial dapat menimbulkan  pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup serta pemborosan  dan kemerosotan sumber daya alam  dalam pemanfaatannya;  

d. proses dan kegiatan yang hasilnya  dapat mempengaruhi lingkungan alam,  lingkungan buatan, serta lingkungan  sosial dan budaya;  

e. proses dan kegiatan yang hasilnya  akan mempengaruhi pelestarian  kawasan konservasi sumber daya alam  dan/atau perlindungan cagar budaya;  

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan,  hewan, dan jasad renik;  

g. pembuatan dan penggunaan bahan  hayati dan nonhayati;  

h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi  dan/atau mempengaruhi pertahanan  negara; dan/atau  

i. penerapan teknologi yang diperkirakan  mempunyai potensi besar untuk  mempengaruhi lingkungan hidup.  

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis  usaha dan/atau kegiatan yang wajib  dilengkapi dengan amdal sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) diatur dengan  peraturan Menteri.  

Pasal 24  

Dokumen amdal sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan  keputusan kelayakan lingkungan hidup.  

Pasal 25 . . . 

 – 22 – 

Pasal 25  

Dokumen amdal memuat:  

a. pengkajian mengenai dampak rencana  usaha dan/atau kegiatan;  

b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana  usaha dan/atau kegiatan;  

c. saran masukan serta tanggapan  masyarakat terhadap rencana usaha  dan/atau kegiatan;  

d. prakiraan terhadap besaran dampak serta  sifat penting dampak yang terjadi jika  rencana usaha dan/atau kegiatan  tersebut dilaksanakan;  

e. evaluasi secara holistik terhadap dampak  yang terjadi untuk menentukan kelayakan  atau ketidaklayakan lingkungan hidup;  dan  

f. rencana pengelolaan dan pemantauan  lingkungan hidup.  

Pasal 26  

(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa  dengan melibatkan masyarakat.  

(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan  berdasarkan prinsip pemberian informasi  yang transparan dan lengkap serta  diberitahukan sebelum kegiatan  dilaksanakan.  

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) meliputi:  

a. yang terkena dampak;  

b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau  

c. yang terpengaruh atas segala bentuk  keputusan dalam proses amdal.  

(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dapat mengajukan keberatan  terhadap dokumen amdal.  

Pasal 27 . . .

 – 23 – 

Pasal 27  

Dalam menyusun dokumen amdal,  pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan  kepada pihak lain.  

Pasal 28  

(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27  wajib memiliki sertifikat kompetensi  penyusun amdal.  

(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat  kompetensi penyusun amdal  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  meliputi:  

a. penguasaan metodologi penyusunan  amdal;  

b. kemampuan melakukan pelingkupan,  prakiraan, dan evaluasi dampak serta  pengambilan keputusan; dan  

c. kemampuan menyusun rencana  pengelolaan dan pemantauan  lingkungan hidup.  

(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  diterbitkan oleh lembaga sertifikasi  kompetensi penyusun amdal yang  ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan  ketentuan peraturan perundang 

undangan.  

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai  sertifikasi dan kriteria kompetensi  penyusun amdal diatur dengan peraturan  Menteri.  

Pasal 29  

(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi  Penilai Amdal yang dibentuk oleh  Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  sesuai dengan kewenangannya.  

(2) Komisi . . .

 – 24 – 

(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi  dari Menteri, gubernur, atau  bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya.  

(3) Persyaratan dan tatacara lisensi  sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  diatur dengan Peraturan Menteri.  

Pasal 30  

(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29  terdiri atas wakil dari unsur:  

a. instansi lingkungan hidup;  

b. instansi teknis terkait;  

c. pakar di bidang pengetahuan yang  terkait dengan jenis usaha dan/atau  kegiatan yang sedang dikaji;  

d. pakar di bidang pengetahuan yang  terkait dengan dampak yang timbul  dari suatu usaha dan/atau kegiatan  yang sedang dikaji;  

e. wakil dari masyarakat yang berpotensi  terkena dampak; dan  

f. organisasi lingkungan hidup.  

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi  Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis  yang terdiri atas pakar independen yang  melakukan kajian teknis dan sekretariat  yang dibentuk untuk itu.  

(3) Pakar independen dan sekretariat  sebagaimana dimaksud pada ayat (3)  ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau  bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya.  

Pasal 31  

Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai  Amdal, Menteri, gubernur, atau  bupati/walikota menetapkan keputusan  kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan  hidup sesuai dengan kewenangannya.  

Pasal 32 . . .

 – 25 – 

 Pasal 32  

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah  

membantu penyusunan amdal bagi usaha  

dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah  

yang berdampak penting terhadap  

lingkungan hidup.  

(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana  

dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi,  

biaya, dan/atau penyusunan amdal.  

(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan  

golongan ekonomi lemah diatur dengan  

peraturan perundang-undangan.  

Pasal 33  

Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal  

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai  

dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan  

Pemerintah.  

Paragraf 6  

UKL-UPL  

Pasal 34  

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang  

tidak termasuk dalam kriteria wajib  

amdal sebagaimana dimaksud dalam  

Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL 

UPL.  

(2) Gubernur atau bupati/walikota  

menetapkan jenis usaha dan/atau  

kegiatan yang wajib dilengkapi dengan  

UKL-UPL.  

Pasal 35  

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak  

wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana  

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib  

membuat surat pernyataan kesanggupan  

pengelolaan dan pemantauan lingkungan  

hidup.  

(2) Penetapan . . .

 – 26 – 

(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilakukan berdasarkan kriteria:  

a. tidak termasuk dalam kategori  berdampak penting sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);  dan  

b. kegiatan usaha mikro dan kecil.  

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL  dan surat pernyataan kesanggupan  pengelolaan dan pemantauan lingkungan  hidup diatur dengan peraturan Menteri.  

Paragraf 7  

Perizinan  

Pasal 36  

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang  wajib memiliki amdal atau UKL-UPL  wajib memiliki izin lingkungan.  

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan  keputusan kelayakan lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31  atau rekomendasi UKL-UPL.  

(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) wajib mencantumkan  persyaratan yang dimuat dalam  keputusan kelayakan lingkungan hidup  atau rekomendasi UKL-UPL.  

(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,  gubernur, atau bupati/walikota sesuai  dengan kewenangannya.  

Pasal 37  

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  sesuai dengan kewenangannya wajib  menolak permohonan izin lingkungan  apabila permohonan izin tidak dilengkapi  dengan amdal atau UKL-UPL.  

(2) Izin . . .

 – 27 – 

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan  apabila:  

a. persyaratan yang diajukan dalam  permohonan izin mengandung cacat  hukum, kekeliruan, penyalahgunaan,  serta ketidakbenaran dan/atau  pemalsuan data, dokumen, dan/atau  informasi;  

b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat  sebagaimana tercantum dalam  keputusan komisi tentang kelayakan  lingkungan hidup atau rekomendasi  UKL-UPL; atau  

c. kewajiban yang ditetapkan dalam  dokumen amdal atau UKL-UPL tidak  dilaksanakan oleh penanggung jawab  usaha dan/atau kegiatan.  

Pasal 38  

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan  dapat dibatalkan melalui keputusan  pengadilan tata usaha negara.  

Pasal 39  

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  sesuai dengan kewenangannya wajib  mengumumkan setiap permohonan dan  keputusan izin lingkungan.  

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang  mudah diketahui oleh masyarakat.  

Pasal 40  

(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan  untuk memperoleh izin usaha dan/atau  kegiatan.  

(2) Dalam . . .

 – 28 – 

(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin  usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.  

(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan  mengalami perubahan, penanggung  jawab usaha dan/atau kegiatan wajib  memperbarui izin lingkungan.  

Pasal 41  

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36  sampai dengan Pasal 40 diatur dalam  Peraturan Pemerintah.  

Paragraf 8  

Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup  

Pasal 42  

(1) Dalam rangka melestarikan fungsi  lingkungan hidup, Pemerintah dan  pemerintah daerah wajib mengembangkan  dan menerapkan instrumen ekonomi  lingkungan hidup.  

(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  meliputi:  

a. perencanaan pembangunan dan kegiatan  ekonomi;  

b. pendanaan lingkungan hidup; dan  

c. insentif dan/atau disinsentif.  

Pasal 43  

(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan  kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:  

a. neraca sumber daya alam dan lingkungan  hidup;  

b. penyusunan . . . 

 – 29 – 

b. penyusunan produk domestik bruto dan  produk domestik regional bruto yang  mencakup penyusutan sumber daya  alam dan kerusakan lingkungan hidup;  

c. mekanisme kompensasi/imbal jasa  lingkungan hidup antardaerah; dan  

d. internalisasi biaya lingkungan hidup.  

(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat  (2) huruf b meliputi:  

a. dana jaminan pemulihan lingkungan  hidup;  

b. dana penanggulangan pencemaran  dan/atau kerusakan dan pemulihan  lingkungan hidup; dan  

c. dana amanah/bantuan untuk  

konservasi.  

(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c  antara lain diterapkan dalam bentuk:  

a. pengadaan barang dan jasa yang ramah  lingkungan hidup;  

b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi  lingkungan hidup;  

c. pengembangan sistem lembaga keuangan  dan pasar modal yang ramah lingkungan  hidup;  

d. pengembangan sistem perdagangan izin  pembuangan limbah dan/atau emisi;  

e. pengembangan sistem pembayaran jasa  lingkungan hidup;  

f. pengembangan asuransi lingkungan  hidup;  

g. pengembangan sistem label ramah  lingkungan hidup; dan  

h. sistem penghargaan kinerja di bidang  perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup.  

(4) Ketentuan . . .

 – 30 – 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen  ekonomi lingkungan hidup sebagaimana  

dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat  

(1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam  

Peraturan Pemerintah.  

Paragraf 9  

Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup  

Pasal 44  

Setiap penyusunan peraturan perundang undangan pada tingkat nasional dan daerah  wajib memperhatikan perlindungan fungsi  lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan  ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang  ini.  

Paragraf 10  

Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup  

Pasal 45  

(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat  Republik Indonesia serta pemerintah daerah  

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib  

mengalokasikan anggaran yang memadai  

untuk membiayai:  

a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan  

lingkungan hidup; dan  

b. program pembangunan yang berwawasan  

lingkungan hidup.  

(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran  dana alokasi khusus lingkungan hidup yang  

memadai untuk diberikan kepada daerah  

yang memiliki kinerja perlindungan dan  

pengelolaan lingkungan hidup yang baik.  

Pasal 46 . . . 

 – 31 – 

Pasal 46  

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi  lingkungan hidup yang kualitasnya telah  mengalami pencemaran dan/atau kerusakan  pada saat undang-undang ini ditetapkan,  Pemerintah dan pemerintah daerah wajib  mengalokasikan anggaran untuk pemulihan  lingkungan hidup.  

Paragraf 11  

Analisis Risiko Lingkungan Hidup  

Pasal 47  

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang  berpotensi menimbulkan dampak penting  terhadap lingkungan hidup, ancaman  terhadap ekosistem dan kehidupan,  dan/atau kesehatan dan keselamatan  manusia wajib melakukan analisis risiko  lingkungan hidup.  

(2) Analisis risiko lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  meliputi:  

a. pengkajian risiko;  

b. pengelolaan risiko; dan/atau  

c. komunikasi risiko.  

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis  risiko lingkungan hidup diatur dalam  Peraturan Pemerintah.  

Paragraf 12  

Audit Lingkungan Hidup  

Pasal 48  

Pemerintah mendorong penanggung jawab  usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan  audit lingkungan hidup dalam rangka  meningkatkan kinerja lingkungan hidup.  

Pasal 49 . . .

 – 32 – 

Pasal 49  

(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup  kepada:  

a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang  berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup;  dan/atau  

b. penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan yang menunjukkan  ketidaktaatan terhadap peraturan  perundang-undangan.  

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan  wajib melaksanakan audit lingkungan hidup.  

(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup  terhadap kegiatan tertentu yang berisiko  tinggi dilakukan secara berkala.  

Pasal 50  

(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan tidak melaksanakan kewajiban  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat  (1), Menteri dapat melaksanakan atau  menugasi pihak ketiga yang independen  untuk melaksanakan audit lingkungan hidup  atas beban biaya penanggung jawab usaha  dan/atau kegiatan yang bersangkutan.  

(2) Menteri mengumumkan hasil audit  lingkungan hidup.  

Pasal 51  

(1) Audit lingkungan hidup sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49  dilaksanakan oleh auditor lingkungan  hidup.  

(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki  sertifikat kompetensi auditor lingkungan  hidup.  

(3) Kriteria . . .

 – 33 – 

(3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat  kompetensi auditor lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  meliputi kemampuan:  

a. memahami prinsip, metodologi, dan  tata laksana audit lingkungan hidup;  

b. melakukan audit lingkungan hidup  yang meliputi tahapan perencanaan,  pelaksanaan, pengambilan  kesimpulan, dan pelaporan; dan  

c. merumuskan rekomendasi langkah  perbaikan sebagai tindak lanjut audit  lingkungan hidup.  

(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan  hidup sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi  kompetensi auditor lingkungan hidup  sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang-undangan.  

Pasal 52  

Ketentuan lebih lanjut mengenai audit  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan  Peraturan Menteri.  

Bagian Ketiga  

Penanggulangan  

Pasal 53  

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran  dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib  melakukan penanggulangan pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan hidup.  

(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau  kerusakan lingkungan hidup sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:  

a. pemberian informasi peringatan  pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup kepada masyarakat;  

b. pengisolasian . . .

 – 34 – 

b. pengisolasian pencemaran dan/atau  kerusakan lingkungan hidup;  

c. penghentian sumber pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan hidup;  dan/atau  

d. cara lain yang sesuai dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi.  

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara  penanggulangan pencemaran dan/atau  kerusakan lingkungan hidup sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) diatur dalam  Peraturan Pemerintah.  

Bagian Keempat  

Pemulihan  

Pasal 54  

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran  dan/atau perusakan lingkungan hidup  wajib melakukan pemulihan fungsi  lingkungan hidup.  

(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilakukan dengan tahapan:  

a. penghentian sumber pencemaran dan  pembersihan unsur pencemar;  

b. remediasi;  

c. rehabilitasi;  

d. restorasi; dan/atau  

e. cara lain yang sesuai dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi.  

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara  pemulihan fungsi lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  diatur dalam Peraturan Pemerintah.  

Pasal 55 . . .

 – 35 – 

Pasal 55  

(1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib  menyediakan dana penjaminan untuk  pemulihan fungsi lingkungan hidup.  

(2) Dana penjaminan disimpan di bank  pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri,  gubernur, atau bupati/walikota sesuai  dengan kewenangannya.  

(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  sesuai dengan kewenangannya dapat  menetapkan pihak ketiga untuk melakukan  pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan  menggunakan dana penjaminan.  

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana  penjaminan sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam  Peraturan Pemerintah.  

Pasal 56  

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian  pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan  hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13  sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan  Pemerintah.  

BAB VI  

PEMELIHARAAN  

Pasal 57  

(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan  melalui upaya:  

a. konservasi sumber daya alam;  

b. pencadangan sumber daya alam;  dan/atau  

c. pelestarian fungsi atmosfer.  

(2) Konservasi . . .

 – 36 – 

(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi  

kegiatan:  

a. perlindungan sumber daya alam;  

b. pengawetan sumber daya alam; dan  

c. pemanfaatan secara lestari sumber daya  

alam.  

(3) Pencadangan sumber daya alam  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b  

merupakan sumber daya alam yang tidak  

dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.  

(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:  

a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan  

iklim;  

b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan  

c. upaya perlindungan terhadap hujan  

asam.  

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi  dan pencadangan sumber daya alam serta  

pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana  

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan  

Peraturan Pemerintah.  

BAB VII  

PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN  SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN  

Bagian Kesatu  

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun  

Pasal 58  

(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam  wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,  

menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,  

menyimpan, memanfaatkan, membuang,  

mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib  

melakukan pengelolaan B3.  

(2) Ketentuan . . .

 – 37 – 

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan  B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  

diatur dalam Peraturan Pemerintah.  

Bagian Kedua  

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun  

Pasal 59  

(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3  wajib melakukan pengelolaan limbah B3  

yang dihasilkannya.  

(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,  

pengelolaannya mengikuti ketentuan  

pengelolaan limbah B3.  

(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu  melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,  

pengelolaannya diserahkan kepada pihak  

lain.  

(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin  dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  

sesuai dengan kewenangannya.  

(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  wajib mencantumkan persyaratan  

lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan  

kewajiban yang harus dipatuhi pengelola  

limbah B3 dalam izin.  

(6) Keputusan pemberian izin wajib  diumumkan.  

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan  limbah B3 diatur dalam Peraturan  

Pemerintah.  

Bagian Ketiga . . .

 – 38 – 

Bagian Ketiga  

Dumping  

Pasal 60  

Setiap orang dilarang melakukan dumping  limbah dan/atau bahan ke media lingkungan  hidup tanpa izin.  

Pasal 61  

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan  izin dari Menteri, gubernur, atau  bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya.  

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi  yang telah ditentukan.  

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara  dan persyaratan dumping limbah atau  bahan diatur dalam Peraturan  Pemerintah.  

BAB VIII  

SISTEM INFORMASI  

Pasal 62  

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah  mengembangkan sistem informasi  lingkungan hidup untuk mendukung  pelaksanaan dan pengembangan kebijakan  perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup.  

(2) Sistem informasi lingkungan hidup  dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi  dan wajib dipublikasikan kepada  masyarakat.  

(3) Sistem . . .

 – 39 – 

(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling  

sedikit memuat informasi mengenai status  

lingkungan hidup, peta rawan lingkungan  

hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.  

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem  

informasi lingkungan hidup diatur dengan  

Peraturan Menteri.  

BAB IX  

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH 

Pasal 63  

(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan  

lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan  

berwenang:  

a. menetapkan kebijakan nasional;  

b. menetapkan norma, standar, prosedur,  

dan kriteria;  

c. menetapkan dan melaksanakan  

kebijakan mengenai RPPLH nasional;  

d. menetapkan dan melaksanakan  

kebijakan mengenai KLHS;  

e. menetapkan dan melaksanakan  

kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;  

f. menyelenggarakan inventarisasi sumber  

daya alam nasional dan emisi gas rumah  

kaca;  

g. mengembangkan standar kerja sama;  

h. mengoordinasikan dan melaksanakan  

pengendalian pencemaran dan/atau  

kerusakan lingkungan hidup;  

i. menetapkan dan melaksanakan  

kebijakan mengenai sumber daya alam  

hayati dan nonhayati, keanekaragaman  

hayati, sumber daya genetik, dan  

keamanan hayati produk rekayasa  

genetik;  

j. menetapkan . . .

 – 40 – 

j. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai pengendalian  dampak perubahan iklim dan  perlindungan lapisan ozon;  

k. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai B3, limbah, serta  limbah B3;  

l. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai perlindungan  lingkungan laut;  

m. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan hidup  lintas batas negara;  

n. melakukan pembinaan dan  pengawasan terhadap pelaksanaan  kebijakan nasional, peraturan daerah,  dan peraturan kepala daerah;  

o. melakukan pembinaan dan  pengawasan ketaatan penanggung  jawab usaha dan/atau kegiatan  terhadap ketentuan perizinan  lingkungan dan peraturan perundang 

undangan;  

p. mengembangkan dan menerapkan  instrumen lingkungan hidup;  

q. mengoordinasikan dan memfasilitasi  kerja sama dan penyelesaian  perselisihan antardaerah serta  penyelesaian sengketa;  

r. mengembangkan dan melaksanakan  kebijakan pengelolaan pengaduan  masyarakat;  

s. menetapkan standar pelayanan minimal;  

t. menetapkan kebijakan mengenai tata  cara pengakuan keberadaan  masyarakat hukum adat, kearifan  lokal, dan hak masyarakat hukum  adat yang terkait dengan perlindungan  dan pengelolaan lingkungan hidup;  

u. mengelola . . .

 – 41 – 

u. mengelola informasi lingkungan hidup  nasional;  

v. mengoordinasikan, mengembangkan,  dan menyosialisasikan pemanfaatan  teknologi ramah lingkungan hidup;  

w. memberikan pendidikan, pelatihan,  pembinaan, dan penghargaan;  

x. mengembangkan sarana dan standar  laboratorium lingkungan hidup;  

y. menerbitkan izin lingkungan;  

z. menetapkan wilayah ekoregion; dan  

aa.melakukan penegakan hukum  lingkungan hidup.  

(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup, pemerintah provinsi  bertugas dan berwenang:  

a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;  

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS  tingkat provinsi;  

c. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai RPPLH provinsi;  

d. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;  

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber  daya alam dan emisi gas rumah kaca  pada tingkat provinsi;  

f. mengembangkan dan melaksanakan  kerja sama dan kemitraan;  

g. mengoordinasikan dan melaksanakan  pengendalian pencemaran dan/atau  kerusakan lingkungan hidup lintas  kabupaten/kota;  

h. melakukan pembinaan dan  pengawasan terhadap pelaksanaan  kebijakan, peraturan daerah, dan  peraturan kepala daerah  kabupaten/kota;  

i. melakukan . . .

 – 42 – 

i. melakukan pembinaan dan pengawasan  ketaatan penanggung jawab usaha  dan/atau kegiatan terhadap ketentuan  perizinan lingkungan dan peraturan  perundang-undangan di bidang  perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup;  

j. mengembangkan dan menerapkan  instrumen lingkungan hidup;  

k. mengoordinasikan dan memfasilitasi  kerja sama dan penyelesaian  perselisihan  

antarkabupaten/antarkota serta  penyelesaian sengketa;  

l. melakukan pembinaan, bantuan teknis,  dan pengawasan kepada  kabupaten/kota di bidang program dan  kegiatan;  

m. melaksanakan standar pelayanan  minimal;  

n. menetapkan kebijakan mengenai tata  cara pengakuan keberadaan  masyarakat hukum adat, kearifan  lokal, dan hak masyarakat hukum  adat yang terkait dengan  perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup pada tingkat  provinsi;  

o. mengelola informasi lingkungan hidup  tingkat provinsi;  

p. mengembangkan dan  menyosialisasikan pemanfaatan  teknologi ramah lingkungan hidup;  

q. memberikan pendidikan, pelatihan,  pembinaan, dan penghargaan;  

r. menerbitkan izin lingkungan pada  tingkat provinsi; dan  

s. melakukan penegakan hukum  lingkungan hidup pada tingkat  provinsi.  

(3) Dalam . . . 

 – 43 – 

(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup, pemerintah  kabupaten/kota bertugas dan berwenang:  

a. menetapkan kebijakan tingkat  kabupaten/kota;  

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS  tingkat kabupaten/kota;  

c. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai RPPLH  kabupaten/kota;  

d. menetapkan dan melaksanakan  kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;  

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber  daya alam dan emisi gas rumah kaca  pada tingkat kabupaten/kota;  

f. mengembangkan dan melaksanakan  kerja sama dan kemitraan;  

g. mengembangkan dan menerapkan  instrumen lingkungan hidup;  

h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;  

i. melakukan pembinaan dan  pengawasan ketaatan penanggung  jawab usaha dan/atau kegiatan  terhadap ketentuan perizinan  lingkungan dan peraturan perundang 

undangan;  

j. melaksanakan standar pelayanan  minimal;  

k. melaksanakan kebijakan mengenai  tata cara pengakuan keberadaan  masyarakat hukum adat, kearifan  lokal, dan hak masyarakat hukum  adat yang terkait dengan perlindungan  dan pengelolaan lingkungan hidup  pada tingkat kabupaten/kota;  

l. mengelola informasi lingkungan hidup  tingkat kabupaten/kota;  

m. mengembangkan dan melaksanakan  kebijakan sistem informasi lingkungan  hidup tingkat kabupaten/kota;  

n. memberikan . . .

 – 44 – 

n. memberikan pendidikan, pelatihan,  pembinaan, dan penghargaan;  

o. menerbitkan izin lingkungan pada  tingkat kabupaten/kota; dan  

p. melakukan penegakan hukum  lingkungan hidup pada tingkat  kabupaten/kota.  

Pasal 64  

Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan  dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.  

BAB X  

HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN  

Bagian Kesatu  

Hak  

Pasal 65  

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup  yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak  asasi manusia.  

(2) Setiap orang berhak mendapatkan  pendidikan lingkungan hidup, akses  informasi, akses partisipasi, dan akses  keadilan dalam memenuhi hak atas  lingkungan hidup yang baik dan sehat.  

(3) Setiap orang berhak mengajukan usul  dan/atau keberatan terhadap rencana  usaha dan/atau kegiatan yang  diperkirakan dapat menimbulkan dampak  terhadap lingkungan hidup.  

(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam  perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup sesuai dengan peraturan  perundang-undangan.  

(5) Setiap . . .

 – 45 – 

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan  akibat dugaan pencemaran dan/atau  perusakan lingkungan hidup.  

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara  pengaduan sebagaimana dimaksud pada  ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.  

Pasal 66  

Setiap orang yang memperjuangkan hak atas  lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak  dapat dituntut secara pidana maupun digugat  secara perdata.  

Bagian Kedua  

Kewajiban  

Pasal 67  

Setiap orang berkewajiban memelihara  kelestarian fungsi lingkungan hidup serta  mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup.  

Pasal 68  

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau  kegiatan berkewajiban:  

a. memberikan informasi yang terkait dengan  perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup secara benar, akurat, terbuka, dan  tepat waktu;  

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan  hidup; dan  

c. menaati ketentuan tentang baku mutu  lingkungan hidup dan/atau kriteria baku  kerusakan lingkungan hidup.  

Bagian Ketiga . . . 

 – 46 – 

Bagian Ketiga  

Larangan  

Pasal 69  

(1) Setiap orang dilarang:  

a. melakukan perbuatan yang  mengakibatkan pencemaran dan/atau  perusakan lingkungan hidup;  

b. memasukkan B3 yang dilarang menurut  peraturan perundang-undangan ke  dalam wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia;  

c. memasukkan limbah yang berasal dari  luar wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia ke media lingkungan hidup  Negara Kesatuan Republik Indonesia;  

d. memasukkan limbah B3 ke dalam  wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia;  

e. membuang limbah ke media lingkungan  hidup;  

f. membuang B3 dan limbah B3 ke media  lingkungan hidup;  

g. melepaskan produk rekayasa genetik  ke media lingkungan hidup yang  bertentangan dengan peraturan  perundang-undangan atau izin  lingkungan;  

h. melakukan pembukaan lahan dengan  cara membakar;  

i. menyusun amdal tanpa memiliki  sertifikat kompetensi penyusun amdal;  dan/atau  

j. memberikan informasi palsu,  menyesatkan, menghilangkan informasi,  merusak informasi, atau memberikan  keterangan yang tidak benar.  

(2) Ketentuan . . . 

 – 47 – 

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing masing.  

BAB XI  

PERAN MASYARAKAT  

Pasal 70  

(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan  yang sama dan seluas-luasnya untuk  berperan aktif dalam perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup.  

(2) Peran masyarakat dapat berupa:  

a. pengawasan sosial;  

b. pemberian saran, pendapat, usul,  keberatan, pengaduan; dan/atau  

c. penyampaian informasi dan/atau  laporan.  

(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:  

a. meningkatkan kepedulian dalam  perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup;  

b. meningkatkan kemandirian,  keberdayaan masyarakat, dan  kemitraan;  

c. menumbuhkembangkan kemampuan  dan kepeloporan masyarakat;  

d. menumbuhkembangkan  

ketanggapsegeraan masyarakat untuk  melakukan pengawasan sosial; dan  

e. mengembangkan dan menjaga budaya  dan kearifan lokal dalam rangka  pelestarian fungsi lingkungan hidup.  

BAB XII . . . 

 – 48 – 

BAB XII  

PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF  

Bagian Kesatu  

Pengawasan  

Pasal 71  

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  sesuai dengan kewenangannya wajib  melakukan pengawasan terhadap ketaatan  penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan  atas ketentuan yang ditetapkan dalam  peraturan perundang-undangan di bidang  perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup.  

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  dapat mendelegasikan kewenangannya  dalam melakukan pengawasan kepada  pejabat/instansi teknis yang bertanggung  jawab di bidang perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup.  

(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri,  gubernur, atau bupati/walikota menetapkan  pejabat pengawas lingkungan hidup yang  merupakan pejabat fungsional.  

Pasal 72  

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai  dengan kewenangannya wajib melakukan  pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha  dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.  

Pasal 73  

Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap  ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh  pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap  terjadi pelanggaran yang serius di bidang  perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.  

PASAL 74 . . .

 – 49 – 

Pasal 74  

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat  (3) berwenang:  

a. melakukan pemantauan;  

b. meminta keterangan;  

c. membuat salinan dari dokumen dan/atau  membuat catatan yang diperlukan;  

d. memasuki tempat tertentu;  

e. memotret;  

f. membuat rekaman audio visual;  

g. mengambil sampel;  

h. memeriksa peralatan;  

i. memeriksa instalasi dan/atau alat  

transportasi; dan/atau  

j. menghentikan pelanggaran tertentu.  

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat  pengawas lingkungan hidup dapat  melakukan koordinasi dengan pejabat  penyidik pegawai negeri sipil.  

(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan  dilarang menghalangi pelaksanaan tugas  pejabat pengawas lingkungan hidup.  

Pasal 75  

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara  pengangkatan pejabat pengawas lingkungan  hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3),  Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan  Pemerintah.  

Bagian Kedua . . . 

 – 50 – 

Bagian Kedua  

Sanksi Administratif  

Pasal 76  

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  menerapkan sanksi administratif kepada  penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan  jika dalam pengawasan ditemukan  pelanggaran terhadap izin lingkungan.  

(2) Sanksi administratif terdiri atas:  

a. teguran tertulis;  

b. paksaan pemerintah;  

c. pembekuan izin lingkungan; atau  

d. pencabutan izin lingkungan.  

Pasal 77  

Menteri dapat menerapkan sanksi administratif  terhadap penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah  daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi  administratif terhadap pelanggaran yang serius di  bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup.  

Pasal 78  

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung  jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung  jawab pemulihan dan pidana.  

Pasal 79  

Pengenaan sanksi administratif berupa  pembekuan atau pencabutan izin lingkungan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat  (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila  penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan  tidak melaksanakan paksaan pemerintah.  

Pasal 80 . . .

 – 51 – 

Pasal 80  

(1) Paksaan pemerintah sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b  berupa:  

a. penghentian sementara kegiatan  produksi;  

b. pemindahan sarana produksi;  

c. penutupan saluran pembuangan air  limbah atau emisi;  

d. pembongkaran;  

e. penyitaan terhadap barang atau alat  yang berpotensi menimbulkan  pelanggaran;  

f. penghentian sementara seluruh  kegiatan; atau  

g. tindakan lain yang bertujuan untuk  menghentikan pelanggaran dan  tindakan memulihkan fungsi  lingkungan hidup.  

(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat  dijatuhkan tanpa didahului teguran  apabila pelanggaran yang dilakukan  menimbulkan:  

a. ancaman yang sangat serius bagi  manusia dan lingkungan hidup;  

b. dampak yang lebih besar dan lebih  luas jika tidak segera dihentikan  pencemaran dan/atau perusakannya;  dan/atau  

c. kerugian yang lebih besar bagi  lingkungan hidup jika tidak segera  dihentikan pencemaran dan/atau  perusakannya.  

Pasal 81  

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan  pemerintah dapat dikenai denda atas setiap  keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan  pemerintah.  

Pasal 82 . . .

 – 52 – 

Pasal 82  

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  berwenang untuk memaksa penanggung  jawab usaha dan/atau kegiatan untuk  melakukan pemulihan lingkungan hidup  akibat pencemaran dan/atau perusakan  lingkungan hidup yang dilakukannya.  

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota  berwenang atau dapat menunjuk pihak  ketiga untuk melakukan pemulihan  lingkungan hidup akibat pencemaran  dan/atau perusakan lingkungan hidup  yang dilakukannya atas beban biaya  penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan.  

Pasal 83  

Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi  administratif diatur dalam Peraturan  Pemerintah.  

BAB XIII  

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN  

Bagian Kesatu  

Umum  

Pasal 84  

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup  dapat ditempuh melalui pengadilan atau di  luar pengadilan.  

(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan  hidup dilakukan secara suka rela oleh para  pihak yang bersengketa.  

(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat  ditempuh apabila upaya penyelesaian  sengketa di luar pengadilan yang dipilih  dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu  atau para pihak yang bersengketa.  

Bagian Kedua . . .

 – 53 – 

Bagian Kedua  

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan  

Pasal 85  

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di  

luar pengadilan dilakukan untuk mencapai  

kesepakatan mengenai:  

a. bentuk dan besarnya ganti rugi;  

b. tindakan pemulihan akibat pencemaran  

dan/atau perusakan;  

c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak  

akan terulangnya pencemaran dan/atau  

perusakan; dan/atau  

d. tindakan untuk mencegah timbulnya  

dampak negatif terhadap lingkungan  

hidup.  

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak 

berlaku terhadap tindak pidana lingkungan  

hidup sebagaimana diatur dalam Undang 

Undang ini.  

(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan  

hidup di luar pengadilan dapat digunakan  

jasa mediator dan/atau arbiter untuk  

membantu menyelesaikan sengketa  

lingkungan hidup.  

Pasal 86  

(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga  

penyedia jasa penyelesaian sengketa  

lingkungan hidup yang bersifat bebas dan  

tidak berpihak.  

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat  

memfasilitasi pembentukan lembaga  

penyedia jasa penyelesaian sengketa  

lingkungan hidup yang bersifat bebas dan  

tidak berpihak.  

(3) Ketentuan . . .

 – 54 – 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga  penyedia jasa penyelesaian sengketa  

lingkungan hidup diatur dengan Peraturan  

Pemerintah.  

Bagian Ketiga  

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan  

Paragraf 1  

Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan  

Pasal 87  

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan yang melakukan perbuatan  

melanggar hukum berupa pencemaran  

dan/atau perusakan lingkungan hidup  

yang menimbulkan kerugian pada orang  

lain atau lingkungan hidup wajib  

membayar ganti rugi dan/atau melakukan  

tindakan tertentu.  

(2) Setiap orang yang melakukan  pemindahtanganan, pengubahan sifat dan  

bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari  

suatu badan usaha yang melanggar  

hukum tidak melepaskan tanggung jawab  

hukum dan/atau kewajiban badan usaha  

tersebut.  

(3) Pengadilan dapat menetapkan  pembayaran uang paksa terhadap setiap  

hari keterlambatan atas pelaksanaan  

putusan pengadilan.  

(4) Besarnya uang paksa diputuskan  berdasarkan peraturan perundang 

undangan.  

Paragraf 2 . . . 

 – 55 – 

Paragraf 2  

Tanggung Jawab Mutlak  

Pasal 88  

Setiap orang yang tindakannya, usahanya,  

dan/atau kegiatannya menggunakan B3,  

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,  

dan/atau yang menimbulkan ancaman serius  

terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab  

mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu  

pembuktian unsur kesalahan.  

Paragraf 3  

Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan  

 Pasal 89  

(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan  

gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang  

waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan  

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan  

dihitung sejak diketahui adanya pencemaran  

dan/atau kerusakan lingkungan hidup.  

(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa  

tidak berlaku terhadap pencemaran  

dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang  

diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan  

yang menggunakan dan/atau mengelola B3  

serta menghasilkan dan/atau mengelola  

limbah B3.  

Paragraf 4  

Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah  

Pasal 90  

(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah  

yang bertanggung jawab di bidang  

lingkungan hidup berwenang mengajukan  

gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu  

terhadap usaha dan/atau kegiatan yang  

menyebabkan pencemaran dan/atau  

kerusakan lingkungan hidup yang  

mengakibatkan kerugian lingkungan  

hidup.  

(2) Ketentuan . . .

 – 56 – 

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian  lingkungan hidup sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) diatur dengan Peraturan  Menteri.  

Paragraf 5  

Hak Gugat Masyarakat  

Pasal 91  

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan  perwakilan kelompok untuk kepentingan  dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan  masyarakat apabila mengalami kerugian  akibat pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup.  

(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat  kesamaan fakta atau peristiwa, dasar  hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil  kelompok dan anggota kelompoknya.  

(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat  dilaksanakan sesuai dengan peraturan  perundang-undangan.  

Paragraf 6  

Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup  

Pasal 92  

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab  perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup, organisasi lingkungan hidup berhak  mengajukan gugatan untuk kepentingan  pelestarian fungsi lingkungan hidup.  

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada  tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu  tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali  biaya atau pengeluaran riil.  

(3) Organisasi lingkungan hidup dapat  mengajukan gugatan apabila memenuhi  persyaratan:  

a. berbentuk . . .

 – 57 – 

a. berbentuk badan hukum;  

b. menegaskan di dalam anggaran  dasarnya bahwa organisasi tersebut  didirikan untuk kepentingan pelestarian  fungsi lingkungan hidup; dan  

c. telah melaksanakan kegiatan nyata  sesuai dengan anggaran dasarnya paling  singkat 2 (dua) tahun.  

Paragraf 7  

Gugatan Administratif  

Pasal 93  

(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan  terhadap keputusan tata usaha negara  apabila:  

a. badan atau pejabat tata usaha negara  menerbitkan izin lingkungan kepada  usaha dan/atau kegiatan yang wajib  amdal tetapi tidak dilengkapi dengan  dokumen amdal;  

b. badan atau pejabat tata usaha negara  menerbitkan izin lingkungan kepada  kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi  tidak dilengkapi dengan dokumen UKL 

UPL; dan/atau  

c. badan atau pejabat tata usaha negara  yang menerbitkan izin usaha dan/atau  kegiatan yang tidak dilengkapi dengan  izin lingkungan.  

(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap  keputusan tata usaha negara mengacu  pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha  Negara.  

BAB XIV . . . 

 – 58 – 

BAB XIV  

PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN  

Bagian Kesatu  

Penyidikan  

Pasal 94  

(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara  Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri  sipil tertentu di lingkungan instansi  pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung  jawabnya di bidang perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup diberi  wewenang sebagai penyidik sebagaimana  dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk  melakukan penyidikan tindak pidana  lingkungan hidup.  

(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil  berwenang:  

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran  laporan atau keterangan berkenaan  dengan tindak pidana di bidang  perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup;  

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap  orang yang diduga melakukan tindak  pidana di bidang perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup;  

c. meminta keterangan dan bahan bukti  dari setiap orang berkenaan dengan  peristiwa tindak pidana di bidang  perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup;  

d. melakukan pemeriksaan atas  pembukuan, catatan, dan dokumen lain  berkenaan dengan tindak pidana di  bidang perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup;  

e. melakukan . . .

 – 59 – 

e. melakukan pemeriksaan di tempat  tertentu yang diduga terdapat bahan  bukti, pembukuan, catatan, dan  dokumen lain;  

f. melakukan penyitaan terhadap bahan  dan barang hasil pelanggaran yang dapat  dijadikan bukti dalam perkara tindak  pidana di bidang perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup;  

g. meminta bantuan ahli dalam rangka  pelaksanaan tugas penyidikan tindak  pidana di bidang perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup;  

h. menghentikan penyidikan;  

i. memasuki tempat tertentu, memotret,  dan/atau membuat rekaman audio  visual;  

j. melakukan penggeledahan terhadap  badan, pakaian, ruangan, dan/atau  tempat lain yang diduga merupakan  tempat dilakukannya tindak pidana;  dan/atau  

k. menangkap dan menahan pelaku tindak  pidana.  

(3) Dalam melakukan penangkapan dan  penahanan sebagaimana dimaksud pada  ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai  negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik  pejabat polisi Negara Republik Indonesia.  

(4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri  sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat  pegawai negeri sipil memberitahukan kepada  penyidik pejabat polisi Negara Republik  Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara  Republik Indonesia memberikan bantuan  guna kelancaran penyidikan.  

(5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil  memberitahukan dimulainya penyidikan  kepada penuntut umum dengan tembusan  kepada penyidik pejabat polisi Negara  Republik Indonesia.  

(6) Hasil . . .

 – 60 – 

(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh  penyidik pegawai negeri sipil disampaikan  kepada penuntut umum.  

Pasal 95  

(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap  pelaku tindak pidana lingkungan hidup,  dapat dilakukan penegakan hukum terpadu  antara penyidik pegawai negeri sipil,  kepolisian, dan kejaksaan di bawah  koordinasi Menteri.  

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai  pelaksanaan penegakan hukum terpadu  diatur dengan peraturan perundang undangan.  

Bagian Kedua  

Pembuktian  

Pasal 96  

Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak  pidana lingkungan hidup terdiri atas:  

a. keterangan saksi;  

b. keterangan ahli;  

c. surat;  

d. petunjuk;  

e. keterangan terdakwa; dan/atau  

f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang  diatur dalam peraturan perundang undangan.  

BAB XV  

KETENTUAN PIDANA  

Pasal 97  

Tindak pidana dalam undang-undang ini  merupakan kejahatan.  

Pasal 98 . . .

 – 61 – 

Pasal 98  

(1) Setiap orang yang dengan sengaja  melakukan perbuatan yang  mengakibatkan dilampauinya baku mutu  udara ambien, baku mutu air, baku mutu  air laut, atau kriteria baku kerusakan  lingkungan hidup, dipidana dengan  pidana penjara paling singkat 3 (tiga)  tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun  dan denda paling sedikit  Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan  paling banyak Rp10.000.000.000,00  (sepuluh miliar rupiah).  

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) mengakibatkan orang luka  dan/atau bahaya kesehatan manusia,  dipidana dengan pidana penjara paling  singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12  (dua belas) tahun dan denda paling sedikit  Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)  dan paling banyak Rp12.000.000.000,00  (dua belas miliar rupiah).  

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) mengakibatkan orang luka  berat atau mati, dipidana dengan pidana  penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan  paling lama 15 (lima belas) tahun dan  denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00  (lima miliar rupiah) dan paling banyak  Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar  rupiah).  

Pasal 99  

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya  mengakibatkan dilampauinya baku mutu  udara ambien, baku mutu air, baku mutu  air laut, atau kriteria baku kerusakan  lingkungan hidup, dipidana dengan  pidana penjara paling singkat 1 (satu)  tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan  denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00  (satu miliar rupiah) dan paling banyak  Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).  

(2) Apabila . . .

 – 62 – 

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) mengakibatkan orang luka  dan/atau bahaya kesehatan manusia,  dipidana dengan pidana penjara paling  singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6  (enam) tahun dan denda paling sedikit  Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)  dan paling banyak Rp6.000.000.000,00  (enam miliar rupiah).  

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) mengakibatkan orang luka  berat atau mati, dipidana dengan pidana  penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan  paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda  paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga  miliar rupiah) dan paling banyak  Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar  rupiah).  

Pasal 100  

(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu  air limbah, baku mutu emisi, atau baku  mutu gangguan dipidana, dengan pidana  penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan  denda paling banyak Rp3.000.000.000,00  (tiga miliar rupiah).  

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) hanya dapat dikenakan  apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau  pelanggaran dilakukan lebih dari satu  kali.  

Pasal 101  

Setiap orang yang melepaskan dan/atau  mengedarkan produk rekayasa genetik ke  media lingkungan hidup yang bertentangan  dengan peraturan perundang-undangan atau  izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan  pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun  dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling  sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)  dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga  miliar rupiah).  

Pasal 102 . . .

 – 63 – 

Pasal 102  

Setiap orang yang melakukan pengelolaan  limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana  penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling  lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit  Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan  paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar  rupiah).  

Pasal 103  

Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan  tidak melakukan pengelolaan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan  pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan  paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling  sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)  dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga  miliar rupiah).  

Pasal 104  

Setiap orang yang melakukan dumping limbah  dan/atau bahan ke media lingkungan hidup  tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal  60, dipidana dengan pidana penjara paling  lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak  Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).  

Pasal 105  

Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam  wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)  huruf c dipidana dengan pidana penjara paling  singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12  (dua belas) tahun dan denda paling sedikit  Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan  paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas  miliar rupiah).  

Pasal 106 . . .

 – 64 – 

Pasal 106  

Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke  dalam wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69  ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana  penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan  paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda  paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar  rupiah) dan paling banyak  Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar  rupiah).  

Pasal 107  

Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang  menurut peraturan perundang–undangan ke  dalam wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69  ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara  paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama  15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit  Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan  paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima  belas miliar rupiah).  

Pasal 108  

Setiap orang yang melakukan pembakaran  lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69  ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana  penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling  lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling  sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)  dan paling banyak Rp10.000.000.000,00  (sepuluh miliar rupiah).  

Pasal 109 . . . 

 – 65 – 

Pasal 109  

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau  kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1),  dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1  (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan  denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu  miliar rupiah) dan paling banyak  Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).  

Pasal 110  

Setiap orang yang menyusun amdal tanpa  memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)  huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling  lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak  Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).  

Pasal 111  

(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang  menerbitkan izin lingkungan tanpa  dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat  (1) dipidana dengan pidana penjara paling  lama 3 (tiga) tahun dan denda paling  banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar  rupiah).  

(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau  kegiatan yang menerbitkan izin usaha  dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi  dengan izin lingkungan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)  dipidana dengan pidana penjara paling  lama 3 (tiga) tahun dan denda paling  banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar  rupiah).  

Pasal 112 . . . 

 – 66 – 

Pasal 112  

Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja  tidak melakukan pengawasan terhadap  ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan terhadap peraturan perundang 

undangan dan izin lingkungan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang  mengakibatkan terjadinya pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan yang  mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,  dipidana dengan pidana penjara paling lama 1  (satu) tahun atau denda paling banyak  Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).  

Pasal 113  

Setiap orang yang memberikan informasi  palsu, menyesatkan, menghilangkan  informasi, merusak informasi, atau  memberikan keterangan yang tidak benar yang  diperlukan dalam kaitannya dengan  pengawasan dan penegakan hukum yang  berkaitan dengan perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j  dipidana dengan pidana penjara paling lama 1  (satu) tahun dan denda paling banyak  Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Pasal 114  

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau  kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan  pemerintah dipidana dengan pidana penjara  paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling  banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).  

Pasal 115  

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,  menghalang-halangi, atau menggagalkan  pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan  hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri  sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama  1 (satu) tahun dan denda paling banyak  Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).  

Pasal 116 . . .

 – 67 – 

Pasal 116  

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup  dilakukan oleh, untuk, atau atas nama  badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi  pidana dijatuhkan kepada:  

a. badan usaha; dan/atau  

b. orang yang memberi perintah untuk  melakukan tindak pidana tersebut atau  orang yang bertindak sebagai pemimpin  kegiatan dalam tindak pidana tersebut.  

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilakukan oleh orang, yang berdasarkan  hubungan kerja atau berdasarkan hubungan  lain yang bertindak dalam lingkup kerja  badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan  terhadap pemberi perintah atau pemimpin  dalam tindak pidana tersebut tanpa  memperhatikan tindak pidana tersebut  dilakukan secara sendiri atau bersama 

sama.  

Pasal 117  

Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi  perintah atau pemimpin tindak pidana  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)  huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa  pidana penjara dan denda diperberat dengan  sepertiga.  

Pasal 118  

Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi  pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang  diwakili oleh pengurus yang berwenang  mewakili di dalam dan di luar pengadilan  sesuai dengan peraturan perundang-undangan  selaku pelaku fungsional.  

Pasal 119 . . .

 – 68 – 

Pasal 119  

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam  Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat  dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata  tertib berupa:  

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari  tindak pidana;  

b. penutupan seluruh atau sebagian tempat  usaha dan/atau kegiatan;  

c. perbaikan akibat tindak pidana;  

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan  tanpa hak; dan/atau  

e. penempatan perusahaan di bawah  pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.  

Pasal 120  

(1) Dalam melaksanakan ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119  huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,  jaksa berkoordinasi dengan instansi yang  bertanggung jawab di bidang perlindungan  dan pengelolaan lingkungan hidup untuk  melaksanakan eksekusi.  

(2) Dalam melaksanakan ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119  huruf e, Pemerintah berwenang untuk  mengelola badan usaha yang dijatuhi  sanksi penempatan di bawah pengampuan  untuk melaksanakan putusan pengadilan  yang telah berkekuatan hukum tetap.  

BAB XVI  

KETENTUAN PERALIHAN  

Pasal 121  

(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,  dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,  setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah  memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi  belum memiliki dokumen amdal wajib  menyelesaikan audit lingkungan hidup.  

(2) Pada . . .

 – 69 – 

(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,  dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,  setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah  memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi  belum memiliki UKL-UPL wajib membuat  dokumen pengelolaan lingkungan hidup.  

Pasal 122  

(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,  dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,  setiap penyusun amdal wajib memiliki  sertifikat kompetensi penyusun amdal.  

(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,  dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,  setiap auditor lingkungan hidup wajib  memiliki sertifikat kompetensi auditor  lingkungan hidup.  

Pasal 123  

Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan  hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri,  gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan  kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam  izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak  Undang-Undang ini ditetapkan.  

BAB XVII  

KETENTUAN PENUTUP  

Pasal 124  

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,  semua peraturan perundang-undangan yang  merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang  Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor  68, Tambahan Lembaran Negara Republik  Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap  berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum  diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan  Undang-Undang ini.  

Pasal 125 . . .

 – 70 – 

Pasal 125  

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997  tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun  1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan  dinyatakan tidak berlaku.  

Pasal 126  

Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan  dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling  lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang Undang ini diberlakukan.  

Pasal 127  

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal  diundangkan.  

Agar . . . 

 – 71 – 

Agar setiap orang mengetahuinya,  

memerintahkan pengundangan Undang-Undang  

ini dengan penempatannya dalam Lembaran  

Negara Republik Indonesia.  

 Disahkan di Jakarta  

 pada tanggal 3 Oktober 2009  

 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  

ttd  

 DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO  

Diundangkan di Jakarta  

pada tanggal 3 Oktober 2009  

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA  

 REPUBLIK INDONESIA,  

 ttd  

 ANDI MATTALATTA  

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140  

 Salinan sesuai dengan aslinya  

 SEKRETARIAT NEGARA RI  

 Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan  

 Bidang Perekonomian dan Industri,  

 Setio Sapto Nugroho 

PENJELASAN  

ATAS  

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA  

NOMOR 32 TAHUN 2009  

TENTANG  

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP  

I. UMUM  

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat  merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga  negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan  seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk  melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup  dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar  lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan  penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup  lain.  

2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang  antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan  cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi  nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai  terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang  besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati  dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu  dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi  antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan  wawasan Nusantara.  

Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap  dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya  produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya  hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya  permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan 

punahnya keanekaragaman hayati.  

Ketersedian . . . 

– 2 – 

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun  kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan  membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat.  Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya  pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat  mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas  lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban  sosial.  

Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi  dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab  negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu,  pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan 

kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan  berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,  desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap  kearifan lokal dan kearifan lingkungan.  

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut  dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu  kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan  konsekuen dari pusat sampai ke daerah.  

3. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan  seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai  konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program  pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan  pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan  pembangunan berkelanjutan.  

Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah  daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis  (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan  berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam  pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,  dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus  dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program  pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS 

menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program  pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang  telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan  hidup tidak diperbolehkan lagi.  

4. Ilmu . . . 

– 3 – 

4. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas  hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk  berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan  berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya  sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi  lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup 

manusia serta makhluk hidup lain.  

Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara  lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang  apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat  mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan  hidup manusia serta makhluk hidup lain.  

Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun  beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik.  Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari  buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar  wilayah Indonesia.  

Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai  konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya  pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak  lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif  pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui  peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan  amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan  diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta  dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang  amdal.  

Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam  memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum  diperoleh izin usaha.  

5. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak  lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan  mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan  perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan  hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa  penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten  terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang  sudah terjadi.  

Sehubungan . . . 

– 4 – 

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu  sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup  yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian  hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan  sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.  

Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan  hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun  hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi  penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan  dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan  hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan  kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak  gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain  akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan  kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa  pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup  demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.  

6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini  memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping  maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi  pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum  pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan  hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum  remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum  pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan  hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas  ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil  tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu  air limbah, emisi, dan gangguan.  

7. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun  1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam  Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan  pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata  kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses  perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan  dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek  transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.  

8. Selain . . . 

– 5 – 

8. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:  

a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;  b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;  c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup; 

d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau  kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu  lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan  hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan  upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan,  instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan  perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,  anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;  

e. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen  pengendalian;  

f. pendayagunaan pendekatan ekosistem;  

g. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi  perkembangan lingkungan global;  

h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi,  akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan  hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup;  

i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana  secara lebih jelas;  

j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan  

k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan  hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.  

9. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada  Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan  pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi  lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi  kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah  dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan  Lingkungan Hidup.  

Oleh . . . 

– 6 – 

Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu  organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi  dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi  kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.  Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang  lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk  kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas  pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan  pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang  memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan  belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.  

II. PASAL DEMI PASAL  

Pasal 1  

 Cukup jelas.  

Pasal 2  

 Huruf a  

 Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara”  adalah:  

a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam  akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya  

bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik  

generasi masa kini maupun generasi masa depan.  

b. negara menjamin hak warga negara atas  lingkungan hidup yang baik dan sehat.  

c. negara mencegah dilakukannya kegiatan  pemanfaatan sumber daya alam yang  

menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan  

lingkungan hidup.  

 Huruf b  

Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan  keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul  kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi  mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu  generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya  dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas  lingkungan hidup.  

Huruf c . . . 

– 7 – 

 Huruf c  

Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan  keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan  hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti  kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan  serta pelestarian ekosistem.  

 Huruf d  

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah  bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau  menyinergikan berbagai komponen terkait.  

 Huruf e  

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa  segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang  dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan  kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.  

 Huruf f  

Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah  bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha  dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan  ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan  alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi 

atau menghindari ancaman terhadap pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan hidup.  

 Huruf g  

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa  perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap  warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi,  maupun lintas gender.  

 Huruf h  

Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa  perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam,  ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat  setempat, dan kearifan lokal.  

Huruf i . . . 

– 8 – 

 Huruf i  

Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati”  adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk  mempertahankan keberadaan, keragaman, dan  keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas  sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani 

yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya  secara keseluruhan membentuk ekosistem.  

 Huruf j  

Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar”  adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha  dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran  dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib  menanggung biaya pemulihan lingkungan.  

 Huruf k  

Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa  setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan  aktif dalam proses pengambilan keputusan dan  pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.  

Huruf l  

Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah  bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang  berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.  

Huruf m  

Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,  transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.  

Huruf n  

Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah  bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang  perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan  memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah  dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

Pasal 3 . . . 

– 9 – 

Pasal 3  

Cukup jelas.  

Pasal 4  

 Cukup jelas.  

Pasal 5  

Cukup jelas.  

Pasal 6  

Cukup jelas.  

Pasal 7  

Cukup jelas.  

Pasal 8  

Cukup jelas.  

Pasal 9  

Cukup jelas.  

Pasal 10  

Ayat (1)  

 Cukup jelas.  

Ayat (2)  

Huruf a  

 Cukup jelas.  

Huruf b  

 Cukup jelas.  

Huruf c  

 Cukup jelas.  

 Huruf d  

Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat  

yang diakui oleh DPRD.  

Huruf e . . . 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *