Beritatoba.com – Ma Kyal Sin yang suka taekwondo, makanan pedas dan lipstik warna merah merona itu memakai nama bahasa Inggris Angel. Ayahnya memeluknya sambil mengucapkan selamat jalan ketika dia pergi demo di Kota Mandalay untuk bergabung dengan unjuk rasa damai menentang kudeta militer.

Kaos oblong hitam yang dipakainya memuat sebuah pesan sederhana yakni “Semuanya akan baik-baik saja”.

Tapi sore itu hari yang nahas. Kyal Sin, 18 tahun, tertembak di kepala oleh aparat keamanan yang sudah membunuh lebih dari 30 demonstran sejak kudeta 1 Februari lalu.

“Dia pahlawan bagi negara kami”, kata Ma Cho Nwe Oo, salah satu teman perempuan Kyal Sin yang juga ikut turun ke jalan seperti demonstran lain di seantero negeri, seperti dikutip the New York Times, Kamis (4/3/2021). “Dengan ikut revolusi ini, generasi perempuan muda memperlihatkan kami tidak kalah berani dari kaum laki-laki”, kata Ma.

Meski penuh resiko, kaum perempuan Myanmar berada di garis paling depan dalam demonstrasi menentang kudeta oleh militer Myanmar. Aksi mereka menjadi pesan tersendiri bagi para jenderal Myanmar yang menyingkirkan pemimpin sipil sekaligus Ibu Negara, Aung San Suu Kyi. Kaum perempuan Myanmar kerap ditindas junta militer selama lebih dari
separuh abad.

Ratusan ribu demonstran termasuk kaum perempuan berunjuk rasa menentang junta, termasuk serikat guru, buruh pabrik garmen, dan tenaga medis–semua sektor itu didominasi kaum hawa. Perempuan belia sering kali berada di garis depan berhadapan langsung dengan aparat keamanan. Dua perempuan ditembak di kepala Rabu lalu dan yang lainnya di bagian jantung. Tiga peluru mengakhiri nyawa mereka.

Awal pekan lalu stasiun televisi junta mengumumkan aparat keamanan diperintahkan untuk tidak memakai peluru tajam dan mereka hanya diperbolehkan menembak ke arah badan bagian bawah ketika harus membela diri.

“Kita akan kehilangan pahlawan dalam revolusi ini”, kata Ma Sandar, asisten Sekjen Serikat Konfederasi Perdagangan Myanmar yang juga ikut berdemo. “Darah kaum perempuan kami merah”.

Bentrokan yang terjadi Rabu lalu membuat korban tewas selama demonstrasi menjadi sedikitnya 54 orang. Tiga anak ditembak mati bulan lalu dan korban tewas pertama sejak kudeta militer adalah perempuan 20 tahun yang ditembak di kepala pada 9 Februari.

Pembunuhan ini menuai kemarahan para pembela hak asasi di dunia. “Militer Myanmar harus menghentikan pembunuhan dan penahanan demonstran”, kata Michelle Bachelet, pejabat HAM di PBB Kamis lalu. “Sungguh mengerikan aparat keamanan melepaskan peluru tajam terhadap demonstran di seantero negeri”, katanya.

Beberapa pekan setelah demo berlangsung sejumlah kelompok relawan medis ikut turun ke jalan untuk mengobati dan merawat mereka yang terluka. Kaum perempuan ikut serta dalam gerakan pembangkangan sipil yang berkumandang di seluruh negeri. Mereka sudah mendobrak tradisi di sebuah negara yang menganggap pakaian rok dan sarung dari kaum perempuan dan laki-laki tidak boleh dicuci berbarengan agar tidak tercampur aura perempuan.

Dengan kreativitas unik, demonstran memasang barisan sarung perempuan yang biasa disebut htamein, untuk melindungi wilayah demo karena sebagian laki-laki menganggap tabu untuk berjalan di bawahnya. Sebagian orang menggantung poster wajah Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta, di htamein untuk mempermalukannya.

“Perempuan muda memimpin demo karena kami dewasa lebih dulu dan kami tidak bisa membiarkan generasi berikutnya dihancurkan”, ujar Dr Yin Yin Hnoung, 28 tahun, yang dihujani peluru di Mandalay. “Kami tidak peduli nyawa kami. Kami peduli dengan generasi masa depan kami”, tegasnya

Selama ini tidak ada sosok perempuan di jabatan tinggi militer Myanmar atau Tatmadaw. Tentara juga kerap memperkosa perempuan dari kaum etnis minoritas, menurut penyelidikan PBB. Di mata para jenderal, perempuan itu lemah dan kotor. Hierarki keagamaan di negara mayoritas Buddha ini juga menempatkan perempuan di bawah laki-laki.

Dalam pidato propaganda di stasiun televisi junta awal pekan ini, Jenderal Min Aung Hlaing, menyinggung soal pakaian tidak pantas para demonstran yang dianggap “tidak patut dan bertentangan dengan tradisi Myanmar”. Yang dia maksud dalam hal ini termasuk pakaian perempuan demonstran.

Sesaat sebelum dia ditembak mati, Kyal Sin, memakai kaos oblong dan jins sobek sambil mengomando teman-teman demonya. Ketika mereka dihajar tembakan gas air mata, Kyal Sin membagikan air untuk membersihkan mata rekan-rekannya.

“Kami tidak akan lari”, teriaknya dalam sebuah video yang direkam seorang demonstran. “Darah rakyat tidak boleh menyentuh tanah”.

“Dia perempuan paling berani yang pernah saya kenal”, kata Ko Lu Maw, fotografer yang mengabadikan saat-saat terakhir Kyal Sin.

Di balik kaos oblongnya Kyal Sin memakai liontin berbentuk bintang karena namanya berarti “bintang terang” dalam bahasa Birma.

“Dia suka bilang : kalau kau melihat bintang, ingatlah aku” kata Cho Nwe Oo, temannya. “Saya akan selalu mengenangnya dengan bangga”, harunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *