Jarak lokasi pusat longsor sangat jauh dari areal konsesi PT TPL.(sumber Renaldy Hutajulu)
beritatoba.com – Parapat – Banjir yang melanda kota wisata Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, menimbulkan polemik ditengah masyarakat maupun di media sosial yang mengaitkan bencana alam tersebut dengan keberadaan lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari, Tbk ( PT TPL).
Polemik ini harus dijelaskan secara tegas dan lugas agar masyarakat, khususnya yang kurang begitu mengerti letak lahan konsesi TPL dengan pusat longsor, yang mengakibatkan banjir itu.
Hasil penelusuran beritatoba.com atas polemik ini menyebutkan bahwa bencana alam itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan lahan konsesi PT TPL. “Sangat tidak logika jika banjir di daerah kami ini dikaitkan dengan keberadaan lahan konsesi PT TPL”, kata Efendy Bakkara selaku pemerhati lingkungan kepada beritatoba.com, Sabtu (15/5/2021).
Menurut Bakkara, letak lahan konsesi TPL sangat jauh berada dari pusat longsor, bahkan berada di balik bukit satunya lagi atau sekitar daerah Huta Tonga dan Sitahoan. Sementara pusat longsor berada di daerah Bangun Dolok. “Pusat longsor dengan lahan konsesi TPL sangat jauh. Bayangkan saja kalau lahan konsesi TPL itu berada dibalik bukit yang satunya lagi. Artinya kalaupun terjadi longsor dan banjir, aliran air mengalir ke arah Kecamatan Dolok Panribuan, Kecamatan Tanah Jawa atau ke arah Kecamatan Mandoge Kabupaten Simalungun”, tegas Bakkara.
Hasil pantauan Efendy Bakkara selama ini di sekitar daerah pusat longsor itu menunjukkan adanya kegiatan illegal loging dan pembukaan lahan pertanian dan perkebunan oleh masyarakat.
Areal pembukaan lahan pinggiran Danau Toba untuk perladangan masyarakat sekitar.(sumber Renaldy Hutajulu)
Sementara itu Ketua NGO Sumatra Forest, Ir Rinaldy Hutajulu, kepada beritatoba.com, Sabtu (15/5/2021), juga mengatakan bahwa banjir bandang dan longsor yang terjadi di sekitar desa Sibaganding dan sekitar kota Parapat adalah efek dari banyaknya pembukaan lahan dengan menebang pohon disekitar perbukitan untuk dijadikan perladangan.
Lokasi longsoran.(sumber Renaldy Hutajulu)
Disatu sisi struktur tanah disekitar lokasi tersebut adalah tanah dan batuan yg sifatnya labil dan rawan longsor, apalagi dengan kemiringan perbukitan yang dijadikan perladangan tersebut cukup besar. “Jadi jika hujan turun, apalagi dengan curah hujan yang cukup tinggi sangat memungkinkan terjadi longsor dibeberapa titik. Dan hal ini akan terus terjadi jika hujan deras”, sebutnya.
Untuk itu dibutuhkan penanganan yang sangat serius dari pihak pihak terkait untuk mereboisasi lereng bukit itu dengan tanaman pohon dan melarang pembukaan perladangan disekitarnya.
Ditambahkannya bahwa status lokasi yang merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) membuat masyarakat semakin bebas melakukan penebangan pohon dan membuka perladangan dan mengabaikan faktor bencana yang kemungkinan besar akan terjadi
Artinya tidak ada kaitannya dengan keberadaan lahan konsesi TPL…?
Rinaldi menegaskan areal konsesi PT TPL yang banyak dituduhkan sebagai dalang bencana, menurut analisanya bahwa tuduhan tersebut sangat keliru. Selain masalah jarak konsesi TPL yang cukup jauh yaitu sekitar 5 km lebih dari titik longsoran, konsesi TPL juga berada di balik gunung dan aliran air yang ada dikonsesi TPL juga bukan mengarah ke Danau Toba tapi mengalir ke arah sebaliknya.
Seperti dilansir dari palapapos.co.id, mantan Kepala Cabang Dinas (Kacabdis) Kehutanan XII, Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba yang juga mantan Kepala Dinas Kehutanan Tobasa, Mangindar Simbolon, menegaskan bahwa wilayah perbukitan Bangun Dolok Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Simalungun, sudah di luar kawasan hutan dan jauh dari konsesi TPL.
Pada tahun 1950-an, daerah itu ditanami pohon pinus untuk menghindari terjadinya longsor karena struktur tanahnya sangat terjal dan curam.
Diterangkannya, pada tahun awal 1990-an pohon yang sudah besar dan tua yang tumbuh di sekitar perbukitan Bangun Dolok, ditebangi serta dikapling-kaplingi untuk ditanami tanaman komoditi kebun.
Mangindar berharap kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) agar mampu merancang kembali konstruksi jalan dan lingkungan yang aman di lokasi Jembatan Sidudua, sehingga tidak mengganggu pengguna jalan hingga perekonomian masyarakat sekitar membaik.
Koordinator Wilayah Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia Sumatera Utara (PMPHI-SU), Drs Gandi Parapat, kepada beritatoba.com mengutarakan rasa prihatin atas musibah bencana alam di kota Parapat.
Dalam musibah ini, PMPHI-SU berharap kepada pemerintah, politisi, ulama, akademisi dan lainnya agar setiap menyikapi dan mengalami musibah bencana alam berpikiran sehat dan tidak saling menyalahkan atau mencari kesalahan orang lain.
“Kalau tidak mau bencana alam atau bencana banjir, jangan manfaatkan alam atau apa yang ada disekitar alam seperti hutan. Tapi karena kita butuh alam untuk kehidupan, terpaksa alam dan lingkungan itu rusak”, katanya.
Hanya tambah Gandi Parapat, bagaimana mengurangi kerugian atau resiko yang dialami akibat rusaknya lingkungan itu. Karenanya perlu pengawasan sebelum menikmati hasil hutan atau alam.(R1)