Aksi segelintir masyarakat soal MHA.(Foto btc)

Beritatoba.com – Toba – Segelintir masyarakat dari tiga desa di Kabupaten Toba yakni Desa Natinggir, Desa Natumingka dan Desa Janji Maria melakukan aksi demo ke kantor Bupati Toba mendesak agar bupati menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan wilayah adat dan pengakuan masyarakat adat, Jumat (14/1/2022).

Berkisar 90 an masyarakat ini melakukan aksi seolah memaksa Bupati Toba, Poltak Sitorus, untuk segera menerbitkan dan menandatangani SK pengakuan MHA, sementara proses sebelum penerbitan SK harus melalui beberapa tahapan dan kriteria atau persyaratan sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014.

Seperti diutarakan Asisten 2 Pemkab Toba, Sahat Manullang Phd, dihadapan masyarakat bahwa seluruh masyarakat Batak adalah masyarakat adat, namun berbeda dengan masyarakat hukum adat (MHA) seperti yang diusulkan.

Dikatakannya selama beberapa bulan ini  panitia sudah melakukan identifikasi dan verifikasi ke lapangan. Pihak Pemkab Toba juga telah mengundang AMAN dan KSPPM serta tokoh adat untuk membahas dan mengindentifkasi serta memverifikasi lokasi usulan untuk MHA, namun hingga saat ini masih belum bisa direkomendasikan ke bupati karena ada beberapa persyaratan yang belum terpenuhi sesuai Permendagri 52 Tahun 2014.

“Ijinkan kami memahami aturan-aturan yang ada. Sampai sekarang kita menyatakan belum, bukan menolak. Syarat-syarat harus bisa kita penuhi”, kata Sahat Manullang.

Aksi demontrasi itu akhirnya membubarkan diri setelah memenuhi kesepakatan akan mengadakan pertemuan antara perwakilan komunitas dengan Bupati Toba pada Kamis (20/2/2022) mendatang.

Ada empat poin tuntutan masyarakat yakni 1. Bupati segera menerbitkan SK pengakuan wilayah adat dan pengakuan masyarakat adat, 2. Sekdakab Toba harus meminta maaf kepada masyarakat adat, 3. Bupati segera mencabut izin konsesi TPL dan 4. Hentikan kriminalisasi dan kekerasan kepada masyarakat adat.

Menanggapi keempat tuntutan segelintir masyarakat ini,  tokoh masyarakat Habornas (Habinsaran, Borbor, Nassau), Albiner Sitorus MBA, berkomentar untuk poin satu, menurutnya tuntututan tersebut tidak seyogianya dilaksanakan karena sudah terjawab, dan sebagian diluar hak dan tugas pemerintahan Toba. Poin 2, hal ini sudah diklarifikasi oleh Sekda Toba Audy Murphy bersama wartawan si penulis berita secara terbuka melalui media sosial.

Albiner Sitorus MBA

Kemudian poin 3, pencabutan ijin konsesi oleh bupati itu diluar hak dan fungsi bupati karena hal itu urusan pusat yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Poin 4, masih menurut Albiner, bahwa kekerasan dan kriminalisasi itu sudah berlalu yang terbukti dengan tidak adanya lagi proses hukum karena kedua belah pihak sudah berdamai.

Menyinggung soal masalah perampasan hutan adat oleh TPL, Albiner menegaskan bahwa tidak ada perampasan oleh TPL karena kalau hal ini terjadi maka berkas laporan masyarakat harus sudah ada di Polres Toba. Kemudian lahan masyarakat yang dikelola TPL adalah hasil kesepakatan bersama dan tidak ada pemaksaan. “Jadi satupun alasan ini untuk menutup TPL tidak memenuhi syarat, seharusnya masyarakat harus bekerjasama kepada pemerintah Toba untuk mengurusnya yaitu pelepasan hutan adat yang masih status hutan lindung. Tidak selalu menyalahkan Pemkab Toba, dan harus mendukung adanya perusahaan yang dapat mendukung pembangunan masyarakat Toba”, katanya.

Albiner juga menghimbau agar memperbaiki secara damai jika ada kekurangan-kekurangan dari pihak perusahaan tetapi bukan ngotot tutup TPL. “Kita harus secara luas melihat masyarakat Toba yang banyak tergantung kepada TPL. Dan kalau TPL tutup pasti terjadi pengangguran besar-besaran di Toba dan sebagian anak masyarakat tidak dapat melanjutkan bidang pendidikan”, imbuh Albiner.(R1)  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *