Sekretaris Tim Independen Hasudungan Butarbutar (tiga kiri) bersama Camat Borbor James Pasaribu dan Kepala Desa Natumingka Kastro Simanjuntak usai observasi lapangan.(btc/Ist)

Beritatoba.com – Toba – Sekretaris Tim Independen Ir Hasudungan Butar-butar MSi dan Ir B Rickson Simarmata MSEE IPM turun langsung ke lapangan melakukan observasi sekaligus pengumpulan data maupun informasi dari berbagai pihak pasca terjadi bentrok antara warga Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, dengan karyawan PT TPL beberapa waktu lalu.

Tim Independen yang bertugas sebagai pengawas Paradigma Baru PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) melalui Hasudungan Butar butar kepada beritatoba.com, Jumat (4/6/2021), menyampaikan rilis hasil observasi yang mereka peroleh di lapangan pada Selasa (1/6/2021) lalu.

Bentrok antara masyarakat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, dengan karyawan TPL yang mengakibatkan adanya korban luka dari kedua belah pihak telah mengundang berbagai reaksi, tanggapan bahkan kecaman dari berbagai pihak yang secara umum dominan menyudutkan posisi PT TPL sebagai pihak yang dipersalahkan.

Hal itu diperparah lagi dengan munculnya pemberitaan oleh beberapa media bahwa pihak PT TPL melakukan pembongkaran paksa terhadap makam kerabat keturunan Op Punduraham Simanjuntak dari lokasi HTI TPL.

Berita ini langsung mendapat kecaman dari berbagai pihak karena berita ini merupakan sesuatu yang sangat sensitif dalam budaya orang Batak.

Pada sisi lain dengan adanya sikap dari masyarakat Desa Natumingka menghalangi karyawan PT TPL melakukan penanaman Eucalyptus periode tanam ke 6 di lokasi HTI TPL, juga memunculkan tanda tanya besar bagi anggota masyarakat terkait bagaimana sebenarnya legitimasi perizinan areal HTI yang diusahai TPL di lokasi yang menjadi sumber terjadinya bentrok antara kedua belah pihak.

Sehubungan dengan ketiga issu yang berkembang, akhirnya Tim Independen memandang issu yang sudah berkembang ini harus segera diungkap fakta yang sebenarnya.

Dari hasil wawancara dengan masyarakat Desa Natumingka dan karyawan PT TPL di lokasi yang berbeda diperoleh informasi bahwa kejadian bentrok antara masyarakat Desa Natumingka dengan karyawan TPL mulai pukul 06:30 WIB dan berhenti pada pukul 15:00 WIB setelah pihak keamanan turun mendamaikannya.

Posisi kejadian berada di luar wilayah Desa Natumingka dengan jarak sekitar 15 km dari batas Desa menuju areal HTI TPL. Lokasi bentrok berada didalam lokasi HTI TPL, bukan di wilayah Desa Natumingka. “Perlu ditambahkan bahwa jarak terdekat antara batas desa dengan lokasi HTI TPL sejauh 600 m saja”, kata Hasudungan.

Adapun awal mula bentrok tersebut karena masyarakat Desa Natumingka yakni keturunan Op Puduraham Simanjuntak menghalangi karyawan TPL untuk mengerjakan penanaman Eucalyptus dilokasi HTI yang baru selesai dipanen beberapa waktu yang lewat.

Masyarakat menghalangi karena mereka merasa bahwa lokasi HTI itu adalah tanah adat mereka, sementara karyawan TPL merasa bahwa lokasi itu adalah lokasi HTI TPL yang sah dan buktinya sudah mereka tanami Eucalyptus selama 5 periode tanam dan tidak pernah ada masalah. Satu periode masa yaitu enam tahun

Bentrok kedua kelompok massa ini bermula dari aksi dorong mendorong dan puncaknya terjadi pelemparan kayu dan batu yang mengakibatkan adanya korban luka dikedua kelompok massa.

Dari kelompok masarakat keturunan Op Duraham Simanjuntak ada 2 orang korban luka yaitu Jusman Simanjuntak dan Agus Simanjuntak, sementara korban luka dari pihak PT TPL ada 5 orang yakni: Sulaiman Simanjuntak (karyawan penanaman) Prinawati (karyawan penanaman), Teddy Panjaitan (Security), Basrin Nababan (Security), Setia Simatupang (Security).

Sementara korban dari pihak Personil Polres Toba ada 1 orang yakni Aipda Mahendra Keliat.

Klarifikasi Mengenai Issu Pembongkaran Makam

Dengan merebaknya berita ada pembongkaran paksa pemakaman di Desa Natumingka oleh pihak PT TPL maka pada hari Selasa 25 Mei 2021 Tim Independen langsung turun ke lokasi kejadian.

Perlu diutarakan bahwa karena ada penghadangan jalan oleh masyarakat, maka Tim harus melalui jalan yang berliku dengan kondisi jalan yang buruk via Parsoburan dengan waktu tempuh dari Balige ke lokasi sekitar 4 jam.

Tim terlebih dahulu menjumpai Camat Borbor untuk menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan Tim Independen turun ke Desa Natumingka dan lokasi HTI PT TPL, dimana salah satu yang hendak diobservasi langsung adalah keberadaan lokasi bekas galian makam yang sudah dibongkar.

Camat Borbor menghantarkan Tim ke Kantor Kepala Desa Natumingka dan bertemu Kepala Desa, beberapa orang anggota masyarakat dan sebagian keturunan Op Puduraman Simanjuntak serta perwakilan salah seorang anggota LSM.

Setelah melalui wawancara dan dialog walaupun mungkin ada rasa curiga atas kehadiran Tim Independen, akhirnya Tim berangkat dengan 3 orang anggota masyarakat perwakilan keturunan Op Puduraman Simanjuntak beserta Camat Borbor dan Kepala Desa Natumingka.

Lokasi pemakaman yang sudah dibongkar posisinya dipinggir jalan HTI TPL.

Dari hasil wawancara langsung dengan 3 orang anggota masyarakat perwakilan keturunan Op Puduraman Simanjuntak (Hotdi Simanjuntak, Resman Simanjuntak dan Kastro Simanjuntak) diperoleh informasi bahwa dalam pembongkaran makam pada tanggal 21 April 2021 tersebut ditemukan tulang beluang dari 3 orang kerabat mereka untuk dipindahkan ke lokasi yang mereka anggap lebih baik dan lebih aman setelah terlebih dahulu tulang belulang dimasukkan dalam satu wadah peti kayu.

Jarak makam lama dengan makam yang baru sekitar 100 m dekat rumpun pokok bambu yang posisinya relatif dekat dengan jalan TPL.

Dari pengakuan perwakilan masyarakat diketahui bahwa pembongkaran makam dilakukan atas inisiatif keturunan Op Duraman Simanjuntak sendiri dan tidak diketahui pihak PT TPL.

Artinya tidak pernah ada pihak PT TPL mencampuri urusan pembongkaran makam tersebut apalagi melakukan pemaksaan pembongkaran.

Situasi dan Kondisi Hubungan Sosial Masyarakat

Dari hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan responden dari kedua belah pihak baik dari masyarakat Desa Natumingka dan karyawan PT TPL, Tim Independen memperoleh informasi sebagai berikut :

  1. Hubungan sosial antara karyawan PT TPL dengan masyarakat Desa Natumingka semakin renggang dan memburuk pada akhir-akhir ini dibanding tahun-tahun sebelumnya sehingga akses ekonom masyarakat Desa Natumingka sebagai buruh harian lepas maupun melalui program kemitraan dengan operasionan PT TPL hampir tidak ada.
  2. Ada rasa curiga antar sesama anggota masyarakat dan ujungnya saling mengawasi gerak-gerik antar sesama anggota komunitas masyarakat Desa Natumingka dalam kaitannya dengan keberadaan operasional PT TPL di sekitar desa mereka. Dengan semakin berkembangnya rasa curiga diantara anggota masyarakat membuat penyaluran bantuan yang berasal dari program CSR dari PT TPL sangat sulit terlaksana.
    Anggota masyarakat yang hendak menerima khawatir menjadi bahan pembicaraan dan penghakiman dari komunitas masyarakat desa walaupun dari aspek kebutuhan ekonomi keluarga mungkin sangat membutuhkannya.
  3. Ada rasa curiga yang cukup tinggi masyarakat Desa Natumingka terhadap masyarakat luar yang masuk ke wilayah desa mereka. Hal ini terbukti dengan adanya pendirian pos pengawasan di beberapa ruas jalan. Tim Independen yang turun langsung ke kantor Kepala Desa Natumingka bersama Camat Borbor ikut juga merasakan akibatnya.

Ketika memulai perkenalan dan komunikasi dengan Kepala Desa dan beberapa anggota masyarakat, tiba-tiba salah seorang anggota LSM langsung meminta Surat Tugas dari Tim Independen, lalu dengan cara budaya ketimuran Tim langsung menyerahkan surat tugas kepada Kepala Desa tanpa merespon perkataan anggota LSM tersebut, karena hal itu bukan kapasitasnya dan bukan urusannya.

Kejadian ini jika lebih dicermati mengandung beberapa makna, antara lain : yang pertama anggota LSM ini sudah mulai mempertontonkan dominasinya di Desa Natumingka, kedua mensosialisasikan kepada masyarakat desa agar selalu menganut rasa curiga terhadap setiap orang yang masuk ke wilayah Desa Natumingka dan ketiga menunjukkan bahwa sebagai salah seorang anggota LSM sudah menjadi salah satu penguasa di desa bersangkutan.

Legitimasi PT Toba Pulp Lestari Dalam Pengelolaan HTI

Legitimasi PT Toba Pulp Lestari,Tbk sebagai perusahaan pengelola hutan tanaman industri dengan penanaman Eucalyptus melalui SK Menhut No.236/Kpts-IV/1984 dan SK No.493/Kpts-II/1992 jo. SK No.307/MENLHK/SETJEN/HPL.0/7/2020 tanggal 28 Juli 2020 dengan status Hutan Produksi.

Dari hasil penelusuran Tim Independen dipadukan dengan hasil klarifikasi dengan Kepala UPT KP-IV bahwa dalam lampiran peta register dimana lokasi areal yang diclaim sebagai wilayah adat Pomparan Op.Punduraman Simanjuntak berada dalam Kawasan Hutan Lindung Toba Habinsaran (Register 79).

Selanjutnya hasil klarifikasi dengan KPH IV Balige dan Pimpinan PT TPL bahwa selama RKT 1990/1991 (periode tanam-1), RKT 2003/2004 (periode tanam-2), RKT 2009 (periode tanam-3), RKT 2014 (periode tanam-4) dan RKT 2018 (periode tanam-5) sama sekali tidak pernah ada claim masyarakat Desa Natumingka atas lokasi areal HTI TPL dimaksud.

Claim muncul sejak RKT 2021 (periode tanam-6) baru muncul claim Tanah Adat oleh Pomparan Op.Punduraham Simanjuntak. Munculnya claim dari masyarakat baru terjadi sesudah pihak PT TPL memulai pengerjaan periode tanam Eucalyptus ke 6.

Menurut pandangan Tim Independen sesudah melakukan wawancara mendalam kepada beberapa anggota masyarakat, mereka sangat membutuhkan perluasan lahan pertanian. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P 21/MENLHK/SETJEN/KUM 1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, ada pengharapan masyarakat akan dengan sendirinya memperoleh pembagian lahan untuk perluasan pertanian mereka.

Keyakinan anggota masyarakat semakin tinggi dengan adanya dorongan dan dukungan dari beberapa kelompok pihak ketiga yang mungkin juga punya agenda kepentingan lain dalam masalah ini.

Namun, anggota komunitas masyarakat Desa Natumingka tidak menyadari bahwa untuk dapat diberi Hak Pengelolaan Hutan Adat harus mengikuti beberapa tahapan proses sesuai dengan peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup dimaksud. Mungkin pemahaman masyarakat mengenai masalah hukum yang terkait dengan Hutan Adat belum cukup memadai tetapi mereka mencoba berjuang bersama pihak yang mendukung mereka.

Pengalaman Adalah Guru Terbaik : Pada Akhirnya Masyarakat Yang Merasakan Akibatnya

Hasil monitoring dan evaluasi Tim Independen di beberapa desa Ring-I di Kecamatan Porsea (sebelum dimekarkannya Kecamatan Parmaksian) tahun 2003-2005 yakni pada awal reoperasional PT TPL dapat menjadi pengalaman berharga dalam mengantisipasi terjadinya hal yang sama di masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Borbor.

Perlu dijelaskan bahwa sebelum reoperasional PT TPL tahun 2003 sudah berdiri salah satu organisasi komunitas masyarakat dari beberapa desa yang berdekatan dengan kantor PT.TPL dengan nama organisasi komunitasnya SRB yang didukung oleh salah satu LSM dibidang lingkungan. Kedua Organisasi/Lembaga ini sudah cukup dekat dan sehati bersepakat untuk tetap menolak reoperasional PT TPL.

Setelah PT TPL reoperasional tahun 2003 kedua organisasi/lembaga ini semakin gencar melakukan kampanyenya untuk tetap menolak reoperasional PT TPL dengan cara secara kontini mengingatkan anggota masyarakat untuk tidak membuka hubungan sosial atau komunikasi dengan pihak PT TPL.

Bagi anggota masyarakat yang membuka akses komunikasi dengan PT TPL akan memperoleh sanksi. Adapun bentuk sanksi yang diberikan waktu itu adalah diberi nama sebutan “PENJILAT” alias 93 dan dikeluarkan dari kelompok masyarakat adat di masing-masing desa sehingga korbannya merasa dikucilkan dan teralienasi dari organisasi komunitas desa.

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan organisasi komunitas untuk memberikan sanksi itu kepada anggota, antara lain :

  1. Menerima bantuan dari PT TPL baik berupa CD internal maupun dari dana CSR 1% dari Net Sales perusahaan.
  2. Membuka akses ekonomi melalui program kemitraan dengan PT TPL.
  3. Salah satu atau lebih anggota keluarga bekerja pada perusahaan PT TPL baik karyawan tetap maupun buruh harian lepas.

Untuk menghindari sanksi dari kelomok komunitasnya beberapa anggota masyarakat akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaannya di TPL dan menekuni bidang pekerjaan lain dan mereka juga tegas menolak bantuan yang diberikan PT TPL.

Pada sisi lain PT TPL dengan komitmen Paradigma Baru menyediakan dana CSR 1% dari Net Sales untuk peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitar yang disalurkan oleh salah satu yayasan yang dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Toba Samosir dengan nama Yayasan Pembangunan Masyarakat Toba Samosir (YPMT), namun ketika dana CSR ini hendak disalurkan langsung mendapat penolakan dari masyarakat anggota komunitas karena takut diberikan sanksi dari organisasi komunitas karena intervensi salah satu LSM.

Melihat kenyataan ini para pengurus Yayasan YPMT dengan dana CSR dan karyawan PT TPL dengan CD internalnya secara terus menerus melakukan pendekatan sosial untuk meyakinkan anggota masyarakat bahwa dalam perbaikan sosial ekonomi masyarakat sebaiknya membuka diri terhadap beberapa program CSR yang ditawarkan oleh perusahaan.

Pada mulanya hanya beberapa orang anggota masyarakat yang memberanikan diri untuk menerimanya, itupun dengan perasaan takut. Anggota masyarakat yang terlanjur menerima bantuan perusahaan berupa bantuan sarana produksi pupuk dan bibit ternak itupun langsung dikucilkan organisasi komunitas dan diberi sebutan PENJILAT alias 93 dan dikeluarkan dari kelompok masyarakat adat.

Pendekatan sosial yang dilakukan Pengurus Yayasan YPMT secara terus menerus dalam menyadarkan masyarakat dalam penyaluran CSR PT TPL akhirnya membuahkan hasil. Hal ini terbukti karena lambat laun jumlah proposal permohonan bantuan dari beberapa kelompok masyarakat mulai masuk dan akhirnya jumlah proposal usulan masyarakat semakin meningkat, membuat para pengurus YPMT kewalahan melayani semua proposal kelompok masyarakat yang ada.

Seiring dengan berjalannya waktu dan adanya perbaikan ekonomi, secara lambat laun anggota masyarakat semakin menyadari apa yang sudah mereka alami akhirnya mereka meninggalkan organisasi komunitas dan LSM dengan berbagai aturan dan pembatasan sosialnya. Karena anggota masyarakat semakin menyadari bahwa selama ini mereka merupakan korban kungkungan dan alienasi dari kedua organisasi itu demi agenda kepentingan kedua organisasi.

Butuh waktu 10 tahun lebih untuk menormalisasi hubungan sosial antar anggota masyarakat itu kembali seperti sediakala karena sudah sempat mengalami perasaan curiga antar sesama, friksi, konflik sosial dan perpecahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *