Jaulahan Ambarita
Beritatoba.com – Simalungun – KSPPM dan AMAN yang sudah hadir beberapa tahun terakhir ini di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumut, sebagai “warga liar” dalam upayanya memprovokasi masyarakat yang tergabung dalam Lamtoras untuk melawan PT TPL tampaknya bakal menimbulkan perpecahan ditengah masyarakat.
Dimana ada KSPPM dan AMAN, disitu pula terjadi perpecahan ditengah masyarakat. Tidak hanya di Kabupaten Toba dan Kabupaten Tapanuli Utara, kali ini tiba bagi Kabupaten Simalungun untuk menyambut perpecahan yang bahkan bisa menjurus rusaknya sendi-sendi kehidupan dan peradatan bahkan keagamaan.
Pangulu (kepala desa) Sihaporas, Jaulahan Ambarita, saat diwawancara beritatoba.com disela acara Danau Toba Rally 2022 di kawasan lahan konsesi TPL sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Sabtu (6/8/2022), terkait gerakan Lamtoras yang diprovokasi KSPPM dan AMAN mengatakan bahwa jauh sebelum kedatangan KSPPM dan AMAN sudah sejak 1998 ada gerakan-gerakan masyarakat dan pengetua-pengetua Sihaporas keturunan Lumontang Laut soal tanah adat.
Seiring berjalan waktu perjuangan untuk mengklaim tanah adat itu berhenti pada 2002 karena disimpulkan tidak memiliki harapan dan bukan itu yang dibutuhkan masyarakat. Kemudian tahun 2018 dengan adanya program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), pemerintah desa melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait adanya kebijakan Tora tersebut untuk pengajuan pelepasan tanah kawasan hutan menjadi hak milik masyarakat.
Namun disisi lain ada sekelompok masyarakat yang mengklaim bahwa tanah tersebut milik nenek moyangnya. Sepanjang sepengetahuan Jaulahan Ambarita, 2018 muncullah gerakan yang menamakan dirinya Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras). “Namun sampai hari ini kita tidak pernah disurati kalau sudah ada berdiri lembaga yang bernama Lamtoras, tetapi kami tidak ikut didalamnya karena 2001-2002 kami sudah mengundurkan diri dari tuntutan itu dengan alasan berbagai faktor dan orang-orang tua menyimpulkan tidak memiliki harapan dan memang bukan itu yang dibutuhkan masyarakat”, ujarnya.
Pada 2018 itu Lamtoras menyatakan tidak ikut dengan TORA, dan justru ikut ke kelompok lain untuk memperjuangkan tanah nenek moyangnya tapi mereka sepihak. “Munculnya Lamtoras di desa kami ini, tidak ada pemberitahuan secara tertulis kepada kantor desa, secara administrasi tidak ada disurati, tidak ada dimohonkan sampai hari ini oleh Lamtoras. Jadi kita tidak tahu ada terbentuk Lamtoras. Kalaupun tahu hanya sebatas adanya spanduk dan informasi dari masyarakat”, imbuhnya.
Kemudian menurut Pangulu Sihaporas ini menyebutkan bahwa Lamtoras mengklaim tanah adat nenek moyangnya dilahan konsesi TPL ada sebanyak 1500 Ha, termasuk tanah yang sudah diduduki dan kuasai masyarakat di Desa Sihaporas.
Terkait kehadiran KSPPM dan AMAN di Desa Sihaporas, Pangulu Ambarita mengutarakan bahwa sampai saat ini kedua lembaga swadaya masyarakat ini tidak pernah memberitahukan kehadirannya ke pemerintah desa. “Kehadiran mereka tidak resmi karena tidak ada pemberitahuan, menjumpai atau melibatkan saya dalam kegiatan mereka (KSPPM dan AMAN, red). Artinya tidak ada kulonuon lah dari mereka kepada saya”, kata Jaulahan yang sudah memasuki periode kedua sebagai Pangulu Sihaporas.
Diakuinya bahwa kehadiran KSPPM dan AMAN di desanya diketahui dari berbagai pemberitaan dan informasi dari berbagai media, berupa bendera, papan-papan media dan spanduk-spaaduk ada tertulis nama KSPPM dan AMAN. Siapa-siapa saja penggeraknya, Pangulu Sihaporas sama sekali tidak kenal. Berarti mereka warga pendatang yang liar…? “Silahkan terjemahkan sendirilah. Yang pasti saya tidak pernah berkenalan dengan pengurus KSPPM dan AMAN”, katanya.
Terkait gerakan menghambat dan menutup jalan dilahan konsesi TPL juga tidak sepengetahuan pangulu. Saat mereka menganiaya, mengeroyok, bawa golok, menghambat jalan itu semua tidak diketahui Pangulu Sihaporas selaku aparat pemerintah desa yang sah.
Pangulu Sihaporas ini berharap agar gerakan-gerakan aksi demo yang dilakukan oleh Lamtoras supaya bersikap santun dan tidak mengganggu roda perekonomian dan menggganggu ketenangan masyarakat dalam kegiatan berusaha, karena negara ini dikelola dengan aturan. Diharapkan pula agar pemerintah daerah dan instansi terakait mendorong agar aksi masyarakat dilakukan sesuai peraturan.
Soal Delima Silalahi dan Roganda Simanjuntak, Pangulu Sihaporas Jaulahan Ambarita juga mengaku tidak kenal tapi pernah dengar nama kedua orang ini. “Dari informasi yang saya dapat bahwa nama kedua orang ini sudah santer dan familiar didalam kelompok Lamtoras”, akunya.
Terkait indikasi perpecahan ditengah masyarakat desa, Pangulu Sihaporas melihat sudah mulai mengarah kesana namun pihaknya tetap berusaha untuk menyatukan dan membina masyarakat supaya tidap terpecah.
Disinggung soal pergelaran Danau Toba Rally 2022 di lahan konsesi TPL yang dinilai berdampak positif bagi masyarakat Sihaporas, Jaulahan Ambarita mengatakan kegiatan seperti itu menjadi momen-momen yang bisa mengangkat potensi dan menambah pendapatan masyarakat serta lapangan kerja dan dagangan. Rally ini juga menjadi tontonan yang menghibur dan mengedukasi.
Atas dampak kehadiran PT TPL di Desa Sihaporas selama puluhan terakhir ini, secara jujur Pangulu Sihaporas mengaku sudah banyak kontribusi yang diberikan oleh TPL dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Sihaporas. Namun jika ada pihak-pihak yang belum terpenuhi keinginanya bisa disempurnakan dan diperbaiki kedepannya.
“Tapi yang jelas ada banyak kontribusi yang diberikan TPL seperti pembangunan jalan, pendirian bangunan paud, air minum, bak air minum, pipanisasi, jalan tani, pengerasan jalan, ketenagakerjaan. Banyak masyarakat kami yang menggantungkan hidup di TPL baik sebagai mitra maupun sebagai karyawan. Termasuk pemberdayaan bidang usaha dengan kerjasama antara TPL dengan Bumdes yang ada didesa kami”, ujar Jaulahan Ambarita mengakhiri wawancaranya bersama beritatoba.com.(R1)